“CUNCTA FECIT BONA IN TEMPORE SUO – Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pengkhotbah 3:11)
Perjuangan kami adalah soal waktu! Perjalanan kami dilakukan dalam waktu: 14 tahun, 11 tahun dan ada yang merasakan getar panggilan saat usia ‘menginjak’ kepala tiga. Ada yang mampu menyelesaikan skripsi tepat waktu, ada yang tambah tiga minggu, namun ada juga yang tambah satu semester. Ada yang TOP (1) pas setahun, ada yang kurang puas dan tambah setahun lagi. Ada yang sudah TOP setahun namun ‘dibonusi’ tahun perutusan di tempat yang jauh. Sampai detik ini pun, kami masih bergulat dengan waktu, tepatnya, ‘kejar-kejaran’ dengan waktu, karena memang ada sudah menyelesaikan tesis dengan tuntas, namun yang lainnya, tesis masih ada dalam proses, masih O.T.W. (on the way), bahkan masih ada yang masih kuliah.
Belum lagi kalau kami harus bicara soal ‘angkatan’. Kalau harus mengkisahkan tentang awal mula kami bisa ‘berempat’, itu sedikit susah dan rumit diceritakan, namun semua itu berjalan di atas waktu: sebagian angkatan, dan bahkan beberapa adik kelas mendahului tahbisan. Ya, kami masih ingat tahun lalu ketika diputuskan menunggu satu tahun lagi untuk tahbisan, seperti seorang Liverpudlian(2) yang selalu mengatakan ‘the next year’, kami merasa seperti orang yang tertinggal dan tersisa. Jangan heran, sebutan ‘Remukan Peyek’ berasal dari kondisi yang serba tidak tepat ini. Sebutan ini, kadang menjadi sesuatu yang melemahkan, atau malah menyakitkan, namun di sisi lain, kami bisa tersemangati bahwa ‘remukan peyek’ itu, meski tidak berbentuk namun tetap gurih dan ‘nagih’.
Perihal waktu, kami kadang menganggapnya sebagai kawan, ketika situasi serba berpihak; namun bisa menjadi lawan, ketika situasi tidak menguntungkan. Namun, itulah bagian dari pergulatan, dan ‘jatuh-bangun’ kami sebagai ‘kawanan’ yang terus menerus mencari arah jalan panggilan Tuhan. Kadang, kami berpikir bahwa waktu adalah sepenuhnya milik kami, manusia yang menahkodai perjalanan. Waktu itu, kami pikir, bisa dikendalikan, diatur dan diarahkan sesuai kehendak hati. Namun, kenyataannya, justru waktu yang tak terkendali, tak teratur dan tak terarah. Hari demi hari, kami makin sadar, bahwa kami tak pernah berhak pada waktu, karena waktu adalah milik Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Manusia, porsi dan tempatnya, adalah bekerja, berlari, berjuang, bertarung demi menciptakan peluang-peluang dalam kehidupan. Soal hasil dan tujuan, biarlah Tuhan ‘Sang Pemilik Waktu’ itulah yang akan menentukan segala sesuatu akan terjadi. Bisa hari ini, bisa besok, bisa minggu depan, atau bahkan tahun depan. Tak terkecuali perihal tahbisan.
Ketika kami, sekali lagi, punya waktu untuk menilik kembali perjalanan panggilan kami sampai jauh ke belakang, panggilan mencari kehendak Tuhan, yang kadang ‘pasang-surut’, juga kerapkali ‘tersesat’ untuk mengikuti kelekatan-kelekatan yang tak teratur; kami menemukan kata-kata dari Kitab Pengkotbah 3:11 ini, yang secara tak sengaja dicetuskan oleh salah satu kawan, yang bagi kami seperti momen ‘Eureka’-nya Archimedes, yang sekali namun tak perlu didebat lagi. Kata-kata itu berbunyi: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya” Tidak terlalu cepat, tidak pernah terlambat. Dan dalam waktu, segala sesuatu ada saat-saatnya sendiri. Ada saat untuk galau dan ada saat untuk bersukacita. Ada saat untuk bekerja keras dan ada saat untuk menikmati hasil kerja keras. Ada saat untuk duduk bekerja di kamar dan ada saat untuk ‘srawung’ dengan teman-teman seperjalanan panggilan. Ada saat untuk berdoa mencari keheningan dan ada saat untuk dolan mencari kegembiraan. Ada saat untuk memasak dan ada saat untuk makan. Ada saat untuk menjadi bahan omongan staf dan ada saat untuk menjadi sumber pujian staf. Ada saat untuk tertawa ‘cekikikan’ dan ada saat untuk duduk bersama memikirkan masa depan. Segala sesuatu ada waktunya! Yang jelas, manusia menjalankan dan berjuang, Tuhan menentukan hasil akhirnya.
Hari-hari ini, ketika kami harus menjabarkan tentang tema ini, Tuhan sudah banyak bekerja atas hidup kami yang lemah dan rapuh ini, yang lebih banyak menjadi sumber keprihatinan daripada menjadi sumber kebanggaan, yang kadang tak tahu diri karena terlalu banyak menerima kemurahan hati orang lain daripada harus membalas setimpal kemurahan hati itu dengan maksimal dan gagah berani. Kami ini adalah objek kemurahan hati Tuhan lewat kebaikan orang-orang yang mencintai kami. Namun, karena pengalaman menerima kemurahan hati inilah membuat kami terbakar semangatnya sambil terus berharap, bahwa di hari-hari mendatang, kami pun bisa membalas dan meneladan kemurahan hati Tuhan itu lewat jalan panggilan yang telah mantap kami pilih, lewat orang-orang yang kami jumpai dan layani.
Hidup manusia ada dalam waktu, dan sekali lagi ditegaskan, bahwa waktu adalah milik Tuhan semata, bukan milik manusia. Maka, kami ingin berjuang dan bertaruh dengan waktu yang dimiliki Tuhan tersebut, yang kini juga dianugerahkan kembali kepada kami, serta terus yakin dan percaya bahwa Ia, ‘Sang Pemilik Waktu’, akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya.
Il fait tote chose bonne en son temps! (Ecclesiaste 3:11)
Catatan:
1. Tahun Orientasi Pastoral adalah tahun dalam jenjang pendidikan calon imam, dimana di waktu tersebut para calon imam mengalami dinamika pastoral di paroki, lembaga, atau yayasan sekolah atau seminari.
2. Liverpudlian adalah sebuatan untuk pendukung fanatik klub Inggris Liverpool. Mengapa mereka akrab dengan jargon ‘the next year’? Karena Liverpool telah lama sekali puasa gelar Liga Inggris, sehingga setiap kali hampir juara dan gagal, maka jargon ini akan diserukan dengan bangga oleh para Liverpudlian.
3. Foto oleh Rm Antonius Dadang Hermawan, Pr dan koleksi KOMSOS GMK