Ada seorang anak kecil yang frustrasi. Orang tuanya mengajari anak-anaknya untuk menjadi, “number one” atau “the best”. Seandainya tidak ada prestasi, anak-anak dihukum dan dikata-katai, “si pecundang!”
Anak zaman now hidup dalam persaingan yang ketat. Bahkan – seolah-olah – orang lain dianggap sebagai: saingan, oposisi, lawan, bla bla bla. Sungguh mengerikan.
“Pernahkah kita diajari untuk menerima kekalahan?” Baiklah kita menyimak tulisan Paulo Coelho dalam bukunya yang berjudul, “Manuskrip Yang Ditemukan di Accra”. Tulisnya, “Apakah daun yang gugur dari pohon di musim salju merasa dikalahkan oleh angin?”
Lantas dijawab, “Ajari kami tentang kekalahan”.
Memang dalam hidup ini kita – suatu saat nanti – harus kalah. Kalah dengan ketuaan atau kalah dengan penyakit. Seneca (4 seb. M – 65) berkata, “Optimum est pati quod emenare non possis” – paling hebat jika seseorang bisa menahan derita yang tidak bisa diubah.
Belajar tentang kekalahan sebaiknya sejak dini. Diajari untuk ikhlas, rela menerina kekalahan. Hal demikian sudah diajarkan oleh Ovidius (43 seb. M – 17), “Leve fit, quod bene fertur onus” – beban yang dipanggul dengan kerelaan hati akan menjadi ringan.
Markus Marlon
Catatan: Penulis adalah pastor asal Wonosari yang berkarya di Kalimatan.