Dari Kota Baru Menuju Kalasan
Memotret Metropolitan, Membangun Pedesaan
Sabtu, 6 Juni 1925.
Geliat pagi menyelimuti tempat pijakanku saat ini. Setelah melintas jembatan Kerkweg, yang membentang dan menghubungkanwilayah Malioboro dan Toegoeweg atau Toegoe Kidul, aku menyusur ke sisi timur sungai Code. Aku menghentikan kayuhan kaki pada pedal sepeda Humber yang kunaiki. Kusandarkan sepeda pada pohon terdekat dan sejenak menghirup sejuknya udara yang berasa basah dan berbau aroma tanah. Hujan yang turun semalam meninggalkan jejak yang tak dapat dihilangkan begitu saja.
Menikmati kelengangan kawasan Nieuwe Wijk memang membuncahkan rasa nyaman tersendiri.Sepengetahuanku, daerah ini menjadi satu kawasan yang mulai ditata secara asri, khusus dan dikenal dengan nama Kota Baru. Kota Baru menjadi daerah perluasan wilayah Kidul Loji Kecil, yang terletak di timur Benteng Vredeburg, daerah Bintaran. Pemerintah Hindia Belanda tampaknya menggagas pertumbuhan permukiman baru, sebagai akibat kebutuhan akan tempat tinggal orang-orang Belanda yang bertambah pesat. Hal ini sekaligus menegaskan keadaan sosial penduduk Jogja yang disekat-sekat oleh pemerintah Belanda. Melalui keberadaan kawasan-kawasan pemukiman, pemerintah Belanda melakukan penggolongan atau pengkelasan status sosial penduduk berdasarkan ras dan keturunan bagi orang Belanda. Mereka mengelola daerah Jogja ini menjadi beberapa kantong hunian.
Aku melihat dan mengamati beberapa orang yang melenggang di ruas jalan. Suasana jalan kian riuh. Beberapa pengendara sepeda mulai berseliweran dan menyita perhatian. Jumlah mereka memang tak begitu banyak. Sesekali motor bermerk Norton melintas. Mesinnya menderu-deru dan berisik. Suara remnya berdecit ketika memperlambat kecepatan dan mencoba menghindar orang yang berjalan lalu lalang. Pengendara motor buatan Inggris itu berbaju putih bersih bergaya. Necis. Mereka, orang Belanda yang datang ke Jogja. Satu dua mobil Ford Model T atau biasa dijuluki Tin Lizzy maupun Flivver mulai meramaikan suasana. Mobil buatan Amerika kian menghiasi Kota Baru. Wilayah Kota Baru layaknya metropolitan, tempat di mana terjadinya perluasan dari beberapa sektor wilayah, jumlah penduduk, maupun skala aktivitas ekonomi dan sosial.
Cukup lama aku menikmati suasana Kota Baru. Rasanya aku ingin berlama-lama berada di zona nyaman, meliarkan pandangan mataku menangkap dan mempelajari aktivitas yang ada di kawasan yang bisa disebut elit ini.
Sekelebat pandanganku tertuju pada sosok pria yang keluar dari gedung kokoh dan bercat warna krem. Aku sedikit paham tempat itu. Bangunan dengan taman yang tertata rapi itu lazim disebut biara.
Pria berambut tipis dan berdahi lebar berjalan beriringan dengan beberapa pemuda. Mereka mengenakan jubah berwarna hitam. Pakaian memang menjadi sesuatu yang sangat penting bagi orang yang menggunakannya. Fungsi utama pakaian pada mulanya untuk menutup aurat manusia supaya tidak malu. Dalam perkembangan, pakaian menjadi sarana untuk melindungi tubuh dari cuaca yang ekstrem. Tetapi melalui pakaian, aku juga dapat mengetahui siapa sosok pemakainya. Aku menduga pria berkulit putih, berbadan tinggi dan agak kurus itu adalah seorang pastor di biara itu.
Seorang pemuda tampak mengenakan pakaian sama seperti yang digunakan pria berkulit putih itu. Ia datang dengan menuntun sepeda. Ia menyerahkan kereta angin dengan wajah ceria. Si pastor menerima sepeda dan membalas layanan dengan tak kalah semanak, akrab. Aku ihat, mereka sempat bercakap-cakap singkat. Seorang pemuda lain, dengan sedikit berlari, membawa payung dan segera menyerahkan kepada pastor. Ia berharap, benda itu tak lupa dibawa selama pastor menempuh perjalanan.
Pastor mulai menuntun sepeda. Ia ancang-ancang menaikinya. Aku tergerak untuk segera mengejar, menghampiri dan menyapanya. Aku mengambil sepeda yang sejak tadi masih tersandar di pohon cemara. Aku menjejakkan kaki pada pedal sebelah kiri dan melangkahkan kaki kananku melewati palang sepeda. Aku cukup fasih dengan karakter sepedaku. Dengan sekali cengklakan, aku sudah dapat menguasai gerakan , memegang stang dan mengayuh pedal dengan fasih. Sepeda Humber yang kutunggangi memang sudah lama. Sepeda ini menjadi kendaraan yang biasa dipakai ayahku saat ia bekerja sebagai pegawai di Rumah Sakit Petronella. Lama tak dirawat dan dipakai, aku mencoba memakainya. Aku senang bisa memiliki sepeda prestisius yang jika dikayuh menimbulkan bunyi cik…cik…cik….Kendaraan impian bagi orang Hindia Belanda.
“Selamat pagi, goedemorgen, Pastor,” sapaku agak terengah-engah sok akrab kepadanya. Ia mulai melaju di depanku. Aku agak heran dengan keberanianku menyapanya. Sebagai pribumi, golongan seperti kami kerapkali merasa minder saat berhadapan dengan orang kulit putih. Belum lagi dengan sebutan inlander, ejekan bagi penduduk asli. Menurutku, julukan seperti itu sengaja dicetuskan untuk menurunkan mentalitas orang pribumi. Trik itu tak berlaku buatku. Setidaknya, aku merasa percaya diri karena dapat mengendarai sepeda bermerek keluaran eropa.
“Hei, selamat pagi. Apa kabarmu hari ini? ” jawab Pastor dengan menggunakan bahasa Indonesia yang cukup baik meski tetap terdengar kagok. Ia seolah pernah mengenalku sebelumnya. Aku takjub dengan sambutan hangatnya. Wow…aku kian merasa terpesona saat melihat sepeda yang dipakainya. Ia mengendara sepeda Germaan Pristerrijwiel, jenis sepeda untuk para pastor. Sepeda keluaran terbaru tahun itu memang unik dan tentu saja memikatku.
“Hei, apa kabarmu?!” tanya Pastor lagi memecah rasa heranku. Seruan itu menyadarkan, aku belum menjawab pertanyaan yang diajukannya “Ooi…baik Pastor,” jawabku.
“Siapa namamu,” tanyanya kepadaku.
“Johanes Madya Susila, Pastor” jawabku singkat.
“Aku, Strater SJ,” ucapnya sembari konsisten mengayuh pedal sepedanya.
Aku mengetahui ia memang fasih naik besikal. Aku merasa mendapatkan teman baru, setidaknya terkait hobiku.
“Bagaimana Jo, mau ikut denganku?” kata Pastor Strater. Aku makin heran kepadanya. Ia belum lama mengenalku, tetapi sudah mengajakku untuk bersepeda bersamanya.
Pelan tapi pasti, Pastor Strater sesekali berada di depanku. Sebagai orang yang suka dan biasa bersepeda, aku merasa berhadapan dengan orang yang memiliki daya tahan fisik prima. Pastor Strater SJ pesepeda handal!
Kami pun bersepeda bersama. Gengsiku sedikit melonjak. Bangga. Bagaimana tidak?? Aku, seorang pemuda pribumi bersepeda berdampingan dan kadang beriringan dengan seorang pastor kulit putih. Pemandangan langka. Sesekali kecepatan sepedaku melambat dan Pastor Strater berada jauh di depanku. Jika begitu, ia bakal menunggu.
Kami menyusur ke arah timur. Matahari pagi mulai bersinar. Cerah. Kami menantang cahayanya. Aku dan Pastor Strater melewati rumah-rumah dinas milik jawatan sepur milik swasta bernama Nederland Indische Spoorweg Maatschapij (NIS) atau Centraal Werkplaats. Di tempat ini, terdapat juga bengkel lokomotif, gerbong dan kereta api. Keberadaan balai ini menjadi cara, bagaimana Pemerintah Hindia Belanda mengelola transportasi yang digunakan untuk memperlancar hasil bumi yang didatangkan dari luar Jogja. Kualitas dan kuantitas barang yang dibawa tetap terjaga dan keamanan dalam proses pengiriman lebih terjamin daripada saat menggunakan gerobak atau pedati.
Pastor Strater sengaja memperlambat laju kereta anginnya. Ia mencoba menyejajarkan sepedanya dengan sepedaku. “Kita berhenti di sini dulu, Jo,” ajak Pastor Strater. Aku sepakat dengannya. Kami beristirahat di sekitar “Balapan Straat”, lokasi pacuan kuda yang berada di utara bengkel kereta api. Lokasi arena ini milik kesultanan Jogja.
Pastor Strater menyandarkan sepedanya. Aku mengikuti yang dilakukannya. Ia kemudian mengeluarkan pelples, botol minuman terbuat dari aluminium yang biasa dibawa soeldadoe. “Bringst du einen wasser?… Kamu tidak membawa minuman?” katanya, sambil mengulurkan botol miliknya ke arahku. Rasa takjubku semakin berlipat kepadanya. Pastor Strater mempersilakan aku untuk minum lebih dulu. Naluriku menahan rasa haus tak bisa menolak tawarannya. Seketika botol minuman telah berpindah tangan. Aku mendongakkan kepala, membuka mulut dan menuangkan minuman membasahi kerongkongan. Luar biasa! Tenggorokanku berasa basah dan adem. Aku sempat berpikir, apakah air biara memang demikian segarnya?
“Jangan banyak-banyak ya,” seru Pastor Strater ketika melihatku minum.
“Ups, maaf Pastor,” agak malu-malu kukembalikan verples kepadanya. Ia menerima pemberianku dan minum tanpa tergesa-gesa.
Sambil beristirahat, keingintahuanku tentang Pastor Strater mulai muncul. Aku bertanya kepada Pastor Strater seputar kedatangannya di Jogja. Pastor Strater tampak terbuka dengan beberapa pertanyaan yang kulontarkan. Ia kemudian mengisahkan tentang dirinya. Aku merasa antusias mendengar cerita, saat ia dan Pastor van Driessche pertama kali datang sebagai misionaris di Jogja tahun 1918.
“Apa yang dilakukan Pastor di Kota Baru?”
“O…Aku tinggal di novisiat, tepat pembinaan bagi orang muda yang akan menjadi Jesuit. Aku juga suka pergi ke desa-desa dan merintis bidang pendidikan. Aku beberapa kali ke daerah Ganjuran dan Medari” katanya.
Sharing pengalaman Pastor Strater terjeda. Pandangan mata kami tertuju pada beberapa joki pribumi yang memegang tali kekang kuda-kuda impor dari eropa. Mereka siap menaiki dan memacunya. Para pemilik kuda dan petaruh pun mulai berdatangan. “Hmmm….Balapan kuda memang menjadi ruang pembauran perbedaan yang ada di kalangan para penduduk asli dan pendatang asing,” batinku.
“Kita teruskan perjalanan, Jo,” ucap Pastor Strater. Aku belum sempat menanggapi perkataannya. Pastor Strater lebih dulu meraih sepedanya dan mulai mengendarainya. Aku berjingkat menuju sepedaku, mengambilnya di sandaran pohon dan menyusul Pastor Strater.
“Kita sekarang ke Kalasan,” seru Pastor Strater sambil menoleh ke arahku.
“Kalasan? Nama daerah yang baru kudengar saat ini. Jika tak bertemu Pastor Strater, barangkali aku tak mengetahui tempat itu, dan bahkan mengunjunginya,” batinku.
Kami melanjutkan mengayuh sepeda dengan riang gembira. Pastor Strater memang pesepeda handal. Kakinya konstan mengayuh pedal sepeda. Ia bisa mengatur secara nafas teratur dan tampak ceria. Aku melihat keringat bercucuran dari wajahnya. Wajar saja. Ia bersepeda dengan mengenakan jubah panjang berwarna hitam pada siang hari ketika matahari mulai meninggi. Asyik juga melihat gaya Pastor Strater bersepeda. Lambaian jumbai jubahnya kadang berkibar dan melambai tertiup angin yang datang dari arah berlawanan. Seperti sirip ikan cupang saja.
“O…God! Wat een praching panorama! Vind je niet, Jo?! (O Tuhan, betapa indahnya pemandangan ini! Bukankah begitu, Jo?!” kata Pastor Strater kepadaku. Waktu itu kami menyeberang jembatan yang berada di atas suatu sungai, melihat hamparan padi bak permadani dan Gunung Merapi yang menjulang tinggi di utara. Aku tak sempat membalas seruan Pastor Strater.
Selanjutnya, aku dan Pastor Strater tak banyak bercakap-cakap selama perjalanan. Mengayuh onthel dalam diam. Aku hanya bertanya-tanya, mengapa Pastor Strater memiliki hasrat besar berangkat ke Kalasan? Ada apa dengan Kalasan? Yang jelas, aksi bersepedaku ini menjadi satu penanda. Pastor Strater telah melibatkanku meniti perjalanan dari Nieuwe Wijk, wilayah metropolitanmenuju pedesaan, Kalasan….