Saat doa malam keluarga selesai, tiba-tiba Ibu Sastro yang sudah menjadi nenek dari 6 cucu itu, berdoa memohon supaya meninggal dengan baik:
Bunda Maria, yang terkandung tanpa noda dosa, kami mengungsi kepadamu dan mohon doa restumu.
Pelindung orang berdosa, Bunda orang yang akan meninggal, semoga kelak bila sudah tiba saatnya, kami jangan sampai kauabaikan, tetapi mohonkanlah sesal yang sungguh serta pengampunan dosa. Semoga kami dapat menyambut tubuh Putramu dengan pantas serta kauteguhkan dengan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, agar kami tabah melangkah menghadap Tuhan yang akan mengadili dengan tegas.
Mendengar itu, cucunya suka protes, kenapa neneknya (atau Ibu Sastro) berdoa seperti itu. Lalu Ibu Sastro itu menjelaskan, “Kita kan tidak tahu kapan akan dipanggil Tuhan, tetapi apabila sudah tiba waktunya, simbah ini biar siap.” Sebenarnya, cucunya tidak terlalu ambil pusing dengan isi doa itu, tetapi kok doanya jadi lebih lama, sih…. Doa Mohon agar Meninggal dengan Baik atau dalam bahasa Jawanya: Sembahyangan Nyuwun Rahayuning Pati sepertinya sudah tidak biasa lagi didoakan umat beriman.
Padahal bagi ibu bapak yang sudah berusia di atas enam puluhan tentu ingat bahwa doa ini dahulu sangat biasa didoakan. Doa ini termasuk doa devosi kepada Bunda Maria. Kita memohon doa restu Ibu Maria agar didampingi bila tiba saatnya dipanggil Tuhan. Apa yang dimohon: agar kita dapat menyesal dan bertobat, dan menerima pengampunan dosa; kita juga mohon agar masih dapat menyambut Komuni Suci atau bekal suci, dan akhirnya masih dapat menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Bukankah itu meninggal secara sangat ideal bagi orang-orang Katolik? Doa ini tentu sangat relevan bagi yang tua-tua. Akan tetapi bagi anak muda? Ya siapa tahu. Bukankah tidak ada seorang pun yang tahu kapan hari dan jam-nya kita akan dipanggil Tuhan? Jadi kesimpulannya jelas: doa ini selalu relevan bagi setiap orang Katolik.
#sekolah liturgi