Seusai Andi, menemui Rama Paroki yang selalu menyalami umat Misa hari Minggu, Bu Nurul mengajak anaknya, di muka gedung gereja: “Rama, terima kasih, ya, intensi doa kami untuk arwah leluhur kami sudah didoakan dalam misa tadi,” kata Bu Nurul. Rama menjawab, “Ya, Bu sama-sama. Ini si Andi, ya, sudah besar kamu sekarang!” Andi malu tersipusipu. Mengujudkan doa bagi jiwa-jiwa yang sudah meninggal dalam Misa Kudus merupakan tradisi Gereja yang bagus.
Bahkan doa bagi jiwa-jiwa di api penyucian biasa disampaikan dalam teks-teks liturgi atau pun ibadat Gereja. Dalam bagian permohonan di Doa Syukur Agung (DSA), selalu disebut doa Gereja bagi mereka yang telah meninggal. Pada doa brevir –ibadat sore (vesper), Gereja juga mendoakan jiwa-jiwa orangorang yang sudah meninggal. Lalu dalam teks doa malam (misalnya PS 80), disebutkan pula permohonan ketenteraman bagi jiwa-jiwa beriman karena kerahiman Tuhan. Tradisi mendoakan jiwa orang yang sudah meninggal ini sudahberlangsung sejak kuno. Santo Sirilus dari Yerusalem (+386) sudah menyebutkan pentingnya doa dalam Ekaristi bagi jiwa orang-orang yang sudah meninggal. Konsili Vatikan II juga menegaskan pentingnya doa ini dan menyebut dasar untuk doa bagi arwah pada ajaran tentang kesatuan Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus (LG 49). Melalui Sakramen Baptis, kita disatukan dengan Yesus Kristus dan dengan semua orang yang telah dipersatukan dengan-Nya. Kesatuan ini tidak hilang karena kematian. Persekutuan para kudus mencakup seluruh Gereja, yakni Gereja yang mulia (para kudus di surga), Gereja yang menderita (mereka yang masih di api penyucian), dan Gereja yang berjuang (kita yang masih hidup di dunia ini).
Jiwa-jiwa dari mereka yang sudah meninggal tetapi masih di api penyucian pastilah akan masuk surga. Dalam proses pemurnian hingga diperkenankannya masuk surga, jiwajiwa melulu bergantung pada belas kasih Tuhan saja. Itulah sebabnya, kita mesti rajin mendoakan jiwa-jiwa itu.
#sekolah liturgi