Beberapa peziarah di Sendangsono menjumpai rombongan orang-orang yang berpakaian Jawa sambil menenteng seperangkat alat musik, antara lain kendang, rebana, gender.
“Lho mau ke mana ini, Pak?” sapa seorang peziarah kepada rombongan tersebut. “Oh ini kami menuju ke Sendang, kan nanti ada Misa. Misa-nya akan diiringi dengan musik ini” sahut Pak Kromo ketua rombongan musik itu. “Wah, bagus, dong, Pak!” komentar peziarah lainnya. “Iya, begitulah, kami sudah biasa kok mengiringi dengan alat musik ini. Setelah Misa nanti akan ada juga slaka….” lanjut Pak Kromo. “Apa itu slaka?” tanya peziarah itu.
Slaka itu singkatan dari Slawatan Katolik. Slawatan Katolik ini merupakan sebuah seni yang mau menghidupi dan mewartakan ajaran iman Katolik melalui seni budaya musik yang biasanya menggunakan alat musik terbang (tamborin), sehingga biasa disebut juga musik terbangan. Dalam Slawatan Katolik ini, dinyanyikan syair yang digubah dari Kitab Suci, sehingga seni slawatan ini dapat menjadi media pengungkapan iman atau doa serta pewartaan iman Katolik pula. Penggunaan unsur-unsur budaya religius lokal atau setempat memang diperkenankan oleh Gereja, sejauh unsur-unsur budaya itu mendukung penghayatan iman kristiani yang autentik dan tentu saja tidak bertentangan dengan norma-norma iman dan susila dari Gereja. Dalam konteks liturgi atau peribadatan, unsur-unsur budaya setempat, asalkan tidak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, dan khususnya selaras dengan
hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli, dapat ditampung dalam liturgi atau peribadatan (lih. SC 37).
Itulah sebabnya, para seniman dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam mengolah seni budaya lokal sebagai sarana untuk meningkatkan ulah kesalehan dan penghayatan iman umat. Sekali lagi, dalam seni slawatan, teks Kitab Suci diubah menjadi syair yang indah. Lagu-lagu liturgi diiringi dengan musik slaka. Buahnya dapat sangat indah dan menggugah cita rasa penghayatan iman umat.
#sekolah liturgi