Oleh C. Ismulcokro
Siang di pusat kota. Dua orang murid Yesus datang menemui majikan saya. Mereka bertemu di tempat usaha majikan saya. Sebagai salahsatu orang yang dipercaya, ia memamggil saya untuk turut serta menemui mereka. Salahsatu murid itu berkata, “Yesus akan mengadakan makan malam menjelang Paskah bersama kami. Apakah Anda bisa membantu mencari dan menyediakan tempat bagi kami?”.
Saya yakin majikan saya akrab dengan Yesus dan kedua utusan-Nya. Mereka tampak akrab dan biasa bertegur sapa. Saya bahkan mengira, majikan saya menjadi bagian dari pengikut Yesus atau salahsatu donatur karya Yesus. Tak penting kiranya bagi saya untuk mengetahui detail semua itu.
Bagi saya, yang lebih urgen dan menyangkut kehidupan saya, adalah ketika majikan saya meminta saya untuk mengatur tempat di Ruang Atas suatu rumah di bagian kota yang lebih rendah, dan terletak di dekat Kolam Siloam. Ia juga memerintahkan saya untuk menyediakan kebutuhan yang diperlukan, dan menjaga kelancaran berlangsungnya makan malam Yesus bersama dewan dua belas murid-Nya. “Siapkan segala sesuatunya dan layani mereka dengan sebaik-baiknya,” kata majikan saya. Momentum privat, makan malam Yesus hanya bersama dewan dua belas murid-Nya ini tentu saja akan menjadi pengalamam istimewa bagi saya.
***
Saya bergegas menuju ruang atas, tempat di mana acara makan malam Yesus dan dewan dua belas murid-Nya akan dilaksanakan. Sementara sibuk menyiapkan, saya mendengar kabar, sebelum masa ini ada dua peristiwa yang mencengangkan para penguasa; pertama, Yesus menunggang keledai dan dielu-elukan sebagai Raja di Yerusalem, kedua, Yesus secara simbolis mengusir para pedagang dan mengobrak-abrik dagangan mereka di Bait Allah. Tentu saja, rentetan kejadian itu memicu konfrontasi antara Yesus dan dewan dua belas murid-Nya dengan pihak penguasa. Konon kabarnya pula, pada hari yang sama, Yudas anak Iskariot, salahsatu murid dan sekaligus bendahara dikalangan dewan dua belas murid Yesus, justru menjalin kesepakatan bersama para musuh untuk menangkap Yesus. Yudas anak Iskariot bersama para musuh akan menggunakan kesempatan menangkap Yesus saat Ia sedang sendirian atau jauh dari kerumunan orang banyak.
Berita-berita dan informasi itu menyertai saya selama mengemban tugas dari majikan. “Sejarah punya cara unik untuk mengulangi dirinya sendiri,” gumam saya. Ungkapan Kidung Daud yang pernah didengungkan orangtua pada masa kecil mengiang kembali dalam relung batin saya. “Bahkan sahabat karibku yang kupercayai yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku”.
***
Malam menjelang. Ruang atas siap digunakan untuk makan malam Yesus bersama dewan dua belas murid-Nya. Saya menunggu kedatangan mereka. Saya memang menjaga jarak dengan mereka. Samar-samar, saya melihat Yesus berjalan bersama rombongannya. Mereka berjalan pelan dan tampak tak tergesa-gesa. Saya menyaksikan betapa Yesus sangat tenang dan tetap menyertai para pengikut-Nya. Ketika mulai masuk ruangan, Yesus sempat menatap saya. Tatapan lembut dan tajam yang belum pernah saya alami sebelumnya. Mimik muka Yesus mengisyaratkan kehangatan dan ucapan terimakasih kepada saya. Satu per satu anggota dewan mengikuti Yesus.
Saya sempat melihat sosok misterius. Yohanes menyebutnya “murid yang dikasihi”. Sepengetahuan saya, Yohanes menyebut nama itu kurang lebih sebanyak 6 kali. “Murid yang dikasihi” itu tampak sangat dekat dengan Yesus. Si murid ini duduk di sebelah Yesus, entah di sebelah kiri atau kanannya, tetapi ia bersandar dan menyenderkan kepalanya di bahu Yesus.
Saya berdiri agak jauh dari meja makan. Saya menajamkan penglihatan agar teta[ awas dan siaga jika Yesus dan dewan dua belas murid-Nya memanggil dan meminta saya untuk mengambilkan sesuatu atau membersihkan kotoran yang ada di sekitar meja makan. Saya merasa kurang pantas untuk berada dalam satu ruang bersama mereka. Saya masuk dalam salahsatu bilik, tepatnya ruang persediaan makanan; roti dan anggur.
Rasa ingin tahu bergemuruh dalam diri saya. Saya ingin melihat apa yang dilakukan Yesus bersama para dewan dua belas murid-Nya. Sambil melongokkan kepala, saya melihat Yesus bangkit dari tempat duduk-Nya, membuka jubah-Nya, dan mengikat anduk pada pinggang-Nya. Sesudah itu, Ia menuang air ke dalam sebuah baskom, lalu mulai membasuh kaki anggota dewan, dan mengeringkannya dengan anduk yang terikat di pinggang-Nya. Satu agedan tak luput dari tatapan saya. Yesus berhadapan dengan salah seorang anggota dewan. Ada dialog antar mereka. Tampaknya, salah seorang anggota dewan itu enggan jika Yesus membasuh kakinya. Wibawa dan siratan ketulusan kasih Yesus meluluhkan kekerasan hatinya. Ia rela, Yesus membasuh dan mengeringkan kakinya. “Jika Aku sebagai Tuhan dan Gurumu membasuh kakimu, kalian wajib juga saling membasuh kaki. Aku memberi teladan ini kepada kalian, supaya kalian juga melakukan apa yang sudah Kulakukan kepadamu,” suara tegas Yesus tertangkap pendengaran saya, sekaligus mengakhiri adegan itu.
Belakangan, saya mengetahui, sosok anggota dewan yang menolak pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus bernama Simon Petrus atau berjuluk Kefas, si Batu Karang.
Belum genap rasa takjub saya dengan tindakan Yesus bagi para pengikut-Nya, saya −masih di bilik yang sama− kembali menyaksikan kejadian tak terduga. Yesus mengucap syukur dan memberikan berkat seraya memecah-mecahkan roti, menuangkan anggur dan membagikannya kepada dewan dua belas murid-Nya. Saya terkesima! Saya yakin, relasi Yesus dengan dewan dua belas murid-Nya pasti lebih intim dan dekat daripada apa yang terlihat pandangan mata saya.
Setiap anggota dewan menyambut roti dan anggur dari Yesus, tak terkecuali Yudas bin Iskariot. Ia mengambil sepotong roti, mencelupkannya ke dalam mangkok; lalu memberikannya kepada Yudas anak Simon Iskariot. Tetapi begitu Yudas bin Iskariot menerima roti dan anggur, ia mengendap, bergegas meninggalkan Yesus dan kesebelas orang lainnya. Saya hanya dapat menduga; pertama, Yudas orang Zelot itu menyadari pada malam itu Yesus akan segera menyendiri dan berdoa di Taman Getsemani, tempat terpencil yang berhadapan dengan Lembah Kidron; kedua, Yudas ingin segera mengetahui dan berhasrat agar Yesus menyatakan diri sebagai Raja dan mengambil alih kekuasaan. Hari semakin malam.
Kondisi fisik saya memungkinkan saya untuk melihat Yesus yang berkata kepada “murid yang dikasihi-Nya”. Barangkali Yesus membisikkan berita, Yudaslah sosok yang akan mengkhianati-Nya.
***
Malam bertambah larut. Makan malam, pertemuan dan percakapan antara Yesus dengan kesebelas murid-Nya berakhir. Yesus melayangkan pandangan ke arahku. Ia seolah menyampaikan ucapan tulus atas kesediaanku untuk menyiapkan tempat, menata ruang dan pada akhirnya membersihkannya. Aku melihat Yesus mulai beranjak dari tempat duduk-Nya. Kesebelas murid pun mengikuti Yesus.
Aku sempat mendengar, mereka akan keluar dari wilayah Yerusalem, menyeberangi Lembah Kidron dan menuju taman yang banyak ditumbuhi zaitun, bernama Getsemani.
Peristiwa makan malam Yesus bersama dewan dua belas murid-Nya mau tidak mau telah melibatkan diri saya. Apakah pengalaman ini akan terulang lagi? Saya tak segera bisa menjawabnya. Namun setidaknya, saya pernah mengalami perjumpaan tak langsung dengan Yesus dan dewan dua belas murid-Nya. Hal lain yang lebih pasti dan meneguhkan, saya dapat mengabadikan (perpetuare) dan mengenang (memoriale) apa yang pernah saya lihat dan dengar tentang tindakan Yesus bagi pengikut-Nya.***