KOMSOS-GMMK. Minggu Palma merupakan sebuah peringatan masuknya Yesus ke kota Yerusalem sebelum Ia wafat pada Jumat Agung dan bangkit kembali pada hari Paskah. Pada tradisi yang ada, Minggu Palma diawali dengan rangkaian acara di luar gereja yang kemudian dilanjutkan perarakan dari luar gereja menuju ruang dalam gereja dengan diiringi lambaian daun palma sebagaimana bangsa Yahui yang menyambut Tuhan Yesus memasuki Kota Yerusalem.
Pada masa pandemi ini suasana sangat berbeda. Misa dilakukan tanpa perarakan meriah sebagaimana tradisi sebelumnya. Namun hal itu tidak mengurangi semangat umat di Stasi Santa Maria Bunda Allah untuk hadir dalam Perayaan Ekaristi Minggu Palma yang dilaksanakan pada Sabtu, 27 Maret 2021 pukul 17:00 dan Minggu, 28 Maret 2021 pada 07:00. Misa pertama dipimpin oleh Romo Agustinus Tri Edy Warsono, Pr. dari Seminari Santo Paulus Kentungan dan dihadiri oleh umat dari Wilayah Yohanes De Britto dan Wilayah Ignatius Loyola dengan jumlah 435 umat. Sedangkan misa hari Minggu dipimpin oleh Romo Vincentius Yudho Widianto, Pr (Vikaris Paroki Maria Marganingsih Kalasan) dan dihadiri umat dari Wilayah Yohanes Don Bosco dan Wilayah Sang Timur dengan jumlah 341 umat.
Dalam homili pada misa pertama dan kedua Romo Yudho dan Romo Edy menyampaikan bahwa Minggu Palma dirayakan dengan meriah, “Yerusalem lihatlah Rajamu”, setelah doa pembuka situasi menjadi nuansa kesedihan. Pada awalnya menggambarkan kemeriahan penyambutan Tuhan Yesus dengan menunggangi keledai. Ketika di dalam gereja ingin dimunculkan suasana kesedihan dengan kisah sengsara Tuhan Yesus. Ada dua suasana besar dan itu dirayakan pada Minggu Palma. Setiap pada Minggu Palma selalu ada seruan “Hossana Putra Daud” seperti lagu pembuka. Ketika di dalam ada seruan “Salibkanlah Dia”. Suasana yang sangat kontradiktif.
Dan yang mengherankan dua seruan yang berbeda itu disampaikan oleh orang yang sama. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa mereka bisa berubah dari seruan “Hossana Putra Daud” menjadi “Salibkanlah Dia”. Penyebabnya adalah karena ada hasutan dan bahkan mereka mendengarkan berita hoaks pada jaman itu. Itulah pula situasi yang sering terjadi dalam hidup kita.
Beberapa tahun yang lalu Paus Fransiscus mengajak umat untuk menjadi “Fulltime Katolik”. Fulltime maksudnya apa? Kita mesti menjadi orang Katolik sejati. Kemudian apa hubungannya dengan seruan “Hossana Putra Daud” dan “Salibkanlah Dia”? Artinya, suatu saat kita begitu semangat menunjukkan rasa syukur kita namun pada situasi yang lain kita bisa sebaliknya. Penyebabnya apa? Mungkin karena kita takut atau kita bersikap seperti Pilatus yakni mengetahui mana yang benar namun takut untuk mengungkapkannya dengan adanya berbagai resiko, misalnya, takut kehilangan jabatannya.
Ketika kita pergi ke gereja kita menjadi Katolik, apakah di luar kita masih Katolik? Mungkin masih, ketika sepulang dari gereja kemudian makan dengan mengawali dengan berdoa sebelum makan. Namun bagaimana nilai-nilai hidup kita, apakah juga kita bawa dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah ketika kita keluar dari Gereja seusai mengikuti perayaan ekaristi, kita juga membawa renungan kita di gereja dalam kehidupan kita sehari-hari? Jika simbol rohani pasti dibawa dalam kehidupan sehari-hari, apakah yang kita timba dari Perayaan Ekaristi juga kita bawa melalui sikap dan tindakan kita yang menampakkan nilai-nilai kekatolikkan kita?
Menjadi fulltime Katolik itu tidaklah mudah. Dalam Injil pun dijelaskan begitu banyak godaan, desakan, rasa takut diancam, berita hoaks,dll. Umat diajak bertanya kepada diri sendiri; sudah bersungguhkah kita sudah menjadi umat yang fulltime Katolik? Jika sudah, sungguh kita harus bersyukur. Jika belum, mari kita juga berusaha agar nilai-nilai positif kekatolikan semakin mampu kita wartakan.
Catatan: Liputan oleh Monica Aurelia dan sumber foto: Seksi dokumentasi GMBA