Rm. Gregorius Prima Dedy Saputro, Pr
Syukur kepada Tuhan! Atas rahmat dan kasih-Nya, saya dimampukan untuk setia dalam formatio menjadi imam. Empat belas tahun saya menjalani pendidikan sebagai imam. Jika saya diminta merangkum perjalanan panggilan tersebut, saya memaknai perjalanan tersebut dengan ungkapan ‘rahmat yang mengagumkan’. Saya merasa bahwa di setiap tahap perjalanan panggilan, Tuhan selalu hadir dan memberikan rahmat-Nya yang mengagumkan.
Perjalanan panggilan yang saya alami tidak diisi dengan berbagai kejadian spektakuler, tetapi pengalaman-pengalaman sederhana. Menyadari sebagai pribadi yang biasa-biasa saja dan tidak neko-neko [macam-macam], pengalaman yang saya miliki terkesan biasa. Hal-hal yang saya alami, juga dialami oleh banyak orang lain. Akan tetapi, di dalam kesederhanaan itulah, Tuhan menyapa saya secara lembut. IA memanggil saya lewat orang-orang yang terlibat dalam hidup saya, pengalaman keseharian yang saya alami, dan perjumpaan sederhana yang mengubah.
Rahmat yang mengagumkan dalam pengalaman sederhana yang saya miliki adalah wujud kasih Tuhan. Saya merasa dikasihi. Berkaitan dengan itu, di awal tulisan ini, saya tertarik untuk membagikan refleksi dari Rm. Henri Nuowen tentang pengalaman dikasihi. Ia menulis demikian,
“Secara sangat mendalam, saya mengetahui bahwa saya mempunyai rumah dalam Yesus, seperti Yesus mempunyai rumah dalam Bapa. Saya tahu juga, bahwa saat saya tinggal dalam Yesus, saya pun tinggal dalam DIA dalam Bapa. ‘Mereka yang mengasihi Aku’, kata Yesus, ‘akan dikasihi oleh Bapa-Ku’ [Yoh 14:21]. Perjalanan spiritual saya yang sejati adalah membiarkan diri saya dikasihi, secara penuh dan lengkap, dan mempercayai bahwa dalam kasih tersebut, saya akan menunaikan panggilan saya. Saya terus berusaha membawa pulang diri saya yang mengembara, gelisah, dan cemas, sehingga saya bisa beristirahat di sana, dalam pelukan kasih.”
Rm. Henri Nouwen menekankan pentingnya pengalaman dikasihi. Bagi beliau, pengalaman dikasihi adalah hal yang fundamental dan merupakan perjalanan spiritual yang sejati. Dengan membiarkan diri dikasihi, kita berada dalam rumah bersama Yesus dan Bapa. Dari rumah itulah, kita keluar untuk mewartakan kasih yang telah menjadi satu dengan kita. Tanpa pengalaman dikasihi, kita tidak bisa menjadi saksi kasih-Nya. Sebagai imam, pengalaman dikasihi adalah hal yang mutlak; harus dimiliki; tidak bisa tidak. Dari pengalaman dikasihi tersebut, seorang imam menjadi Kristus yang lain dengan penuh.
Oleh karena itu, saya hendak berbagi pengalaman dikasihi tersebut. Dalam suka duka perjalanan panggilan yang saya alami, selalu ada rahmat-Nya. Rahmat yang saya terima dari Tuhan Yesus, terwujud dalam kasih keluarga, sanak saudara, teman-teman, staf, dan setiap pribadi yang saya jumpai. Kasih yang menggerakkan saya untuk menanggapi panggilan Tuhan untuk menjadi saksi Kasih-Nya. Sapaan Tuhan dalam kesederhanaan pengalaman harian yang menggerakkan saya mengatakan “ya” kepada panggilan Tuhan menjadi imam.
Jubah Putih
Saya lupa kapan persisnya mengucapkan keinginan menjadi romo untuk pertama kalinya. Akan tetapi, sejak SD, saya sudah ingin menjadi romo. Alasannya sederhana: jubah putih. Kala itu, para romo yang berkarya di Paroki Marganingsih Kalasan, saat melayani misa di Wilayah Temanggal [wilayah tempat tinggal saya], menggunakan motor megapro. Jubah putihnya digulung di dalam jaket. Saat sampai kapel, romo turun dan membuka jaketnya. Seketika itu, jubah putih itu tergerai turun. Batin saya, “wow, sangar!” Saya juga ingin mengenakan jubah putih seperti itu.
Efeknya adalah saat saya bertugas misdinar di Kapel Temanggal, saya selalu datang gasik [datang lebih awal]dan memilih jubah misdinar yang pas [cocok]dan bagus. Saya selalu menjadi yang pertama mengenakan dan yang terakhir melepaskannya.
Selain itu, dalam sekolah minggu dan misdinar, kami kadang berkegiatan di postulan bruder-bruder CSA dan rumah studi suster-suster SPC. Dari mereka, saya mengenal hidup membiara. Mereka turut promosi panggilan dan bertanya kepada kami apakah ada yang ingin menjadi imam, bruder, dan suster. Beberapa bruder yang turut menyemangati saya untuk masuk ke seminari adalah Br. Yakobus, CSA dan Br. Martin, CSA. Mulai dari kegiatan menjadi misdinar itulah, benih-benih panggilan menjadi imam tumbuh dalam diri saya.
Sembahyangan Malam Jumat
Selain itu, kebiasaan dekat dengan kegiatan menggereja ditanamkan oleh keluarga. Setiap malam Jumat, simbah putri selalu mengajak saya sembahyangan [doa]lingkungan. “Le, ayo melu simbah sembahyangan rosario.” [Nak, ayo ikut eyang berdoa rosario] Dengan kebaya, sleyer di leher, jarik, tas kecil, buku kidung adi, sandal selop, dan senter, beliau selalu menggandeng saya untuk ngampiri tetangga sekitar [simbah-simbah yang lain], dan kami berangkat bersama ke salah satu rumah yang terjadwal sebagai tuan rumah.
Sebagai anak kecil, saya selalu mengatakan “nggih” [ya]untuk ikut sembahyangan karena bisa bertemu dengan teman-teman sebaya, main bersama sebentar setelah sembahyangan, dan ada suguhan [hidangan]yang enak. Akan tetapi, saat simbah putri sudah semakin sepuh dan tidak bisa berjalan jauh, saya berangkat sendirian. Dalam sembahyangan tersebut, saya mulai berani memimpin rosario dalam Bahasa Jawa, doa malam, dan mendokan doa-doa umat.
Melalui ajakan sederhana simbah tersebut, saya mengenal kebiasan berdoa dengan umat lingkungan dan mau ikut terlibat di dalam lingkungan. Kebiasaan ini turut memupuk benih panggilan menjadi imam.
Ziarah Keluarga
Saya sering ziarah bersama keluarga. Saat kecil, bapak dan ibu sering mengajak saya ziarah ke Gua Maria Sendang Sriningsih. Kami biasanya cengpat menggunakan motor [bonceng papat – berboncengan berempat]; saya duduk di depan, bapak mengemudikan motor, kakak saya, dan Ibu. Selain itu, bapak dan ibu juga mempunyai devosi Misa Jumat Pertama di Candi Ganjuran. Kami sekeluarga selalu pergi misa di sana dan pada akhir misa selalu meminta berkat dari alm. Rm. Gregorius Utomo, Pr.
Kebiasaan ziarah dan berdoa bersama keluarga sudah menjadi kebiasaan sejak kecil, dan masih berlanjut sampai sekarang. Bagi saya, kesederhanaan berziarah dan berdoa bersama menjadi sebuah ruang Tuhan menyapa saya secara sangat lembut. Saya merasa gembira saat diajak bapak dan ibu ke Sendang Sriningsih, Ganjuran, Sendangsono, dll. Kegembiraan itu membuat saya nyaman dan pada saatnya membuat saya ingin bekerja di ladang anggur-Nya.
Keluarga: supporter besar dalam panggilan
Saya tumbuh dalam dua trah keluarga besar, yaitu trah Dirjosoesanto [dari Bapak -anak ketiga belas dari empat belas bersaudara-] dan trah Mujiono [dari Ibu -anak kesembilan dari sepuluh bersuadara-]. Oleh karena itu, saya memiliki banyak pakde, om, bude, bulek, sepupu, dan keponakan. Dari kedua trah tersebut, saya mendapatkan banyak kasih, terutama saat saya menempuh pendidikan calon imam.
Banyak pakde, om, bude, bulek hadir dalam setiap tahap dan pergulatan saya menjalani panggilan. Perhatian mereka tercurah saat kunjungan keluarga di Mertoyudan, Jangli, Kentungan, bahkan saat saya belajar di Roma. Mereka hadir saat acara-acara penting dalam formasi, membantu secara finansial, dan siap untuk dikunjungi saat liburan. Persaudaraan yang erat dalam keluarga membuat “tangki kasih” yang saya miliki menjadi semakin penuh. Keluarga sungguh menjadi supporter besar dalam panggilan yang sudah saya jalani selama empat belas tahun dan akan terus menyertai dalam pelayanan saya sebagai imam sampai akhir hayat.
Panti Semedi, Sangkalputung
Saat SMP, cita-cita menjadi imam tidak begitu menggema dalam hati. Saya memiliki impian yang lain. Setelah lulus dari SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta, ada beberapa pilihan SMA yang ingin saya masuki, yaitu SMA N 8 Yogyakarta, SMA Kolese De Britto, atau SMA Pangudi Luhur Van Lith; tetapi tidak pernah terbesit untuk masuk ke SMA Seminari Mertoyudan. Tahu tempatnya saja tidak. Bahkan, waktu itu saya sudah mempunyai impian, setelah lulus SMA, saya ingin kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Akan tetapi, semua itu berubah karena momen rekoleksi. Saat kelas IX di SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta, saya mengikuti rekoleksi tiga hari dua malam di Panti Semedi, Sangkalputung, Klaten. Tema rekoleksi itu adalah “who am i? Apa mimpimu?” Pembimbing rekoleksi saat itu adalah Rm. Dominicus Donny Widiarso, Pr. Singkat cerita, saat merenungkan tentang cita-cita masa kecil, saya teringat impian untuk menjadi romo. Lalu, saya menuliskannya di lembar refleksi. Jawaban tersebut dibaca oleh Rm. Donny, Pr dan saya disemangati oleh beliau untuk masuk Seminari Menengah Mertoyudan setelah lulus dari SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta.
Entah keberanian datang dari mana, selesainya dari rekoleksi tersebut, seketika keluar dari pintu gerbang Panti Semedi, saat diboncengkan bapak menggunakan motor suzuki smash warna biru, saya bertanya, “Pak, nek aku mlebu Seminari Mertoyudan, pie?” [Pak, kalau saya masuk Seminari Mertoyudan, bagaimana?] Bapak saya kaget. Saya tidak terlalu optimis diizinkan oleh bapak karena saat saya mengutarakan untuk masuk SMA Pangudi Luhur Van Lith, Bapak tidak yakin bahwa saya bisa hidup berasrama dan jauh dari keluarga. Ternyata, Bapak mengizinkan dan beliau yang bergerak cepat untuk mencari informasi seputar pendaftaran Seminari Mertoyudan ke Paroki Kalasan. Setelah semua proses terlalui, saya diterima di Seminari Menengah Mertoyudan dan dimulailah perjalanan saya sebagai calon imam.
Keberanian saya untuk mengatakan ingin masuk seminari, melakukan segala proses, kemauan untuk hidup jauh dari keluarga, dan bertahan di masa-masa sulit, bagi saya, adalah peran Roh Kudus yang memberi saya keberanian dan kesetiaan untuk menjalani apa yang sebenarnya belum sepenuhnya saya pahami.
Suka Duka Sebagai Seminaris
Pada tahun 2007, saya masuk Seminari Menengah Mertoyudan. Selama empat tahun, saya menjalani masa pendidikan sebagai seminaris tingkat SMA. Terdapat beberapa hal yang ingin saya bagikan di masa pendidikan ini.
Pertama, mengatasi rasa minder. Saya berasal dari desa, tepatnya Dusun Temanggal, Kalasan. Kemudian, saat masuk ke Seminari Menengah Mertoyudan, saya bertemu dengan seminaris dari berbagai daerah. Banyak dari mereka berasal dari kota dan memiliki aneka talenta, sedangkan saya tidak memiliki bakat yang menonjol. Kalaupun ada, hanya dalam ranah studi, bukan di bidang musik, sastra, olahraga, dll. Oleh karena itu, saya merasa minder.
Akan tetapi, rasa takut dan minder tersebut sedikit demi sedikit terkikis. Saya terbantu oleh kebiasaan refleksi harian. Dalam buku refleksi, saya selalu menuliskan pengalaman dan rasa perasaan yang muncul. Kemudian, saat frater sub pamong [Rm. Dirga, SJ] membacanya, ia memberikan komentar dan semangat. Beberapa kali saya diajak bertemu dengannya dan kami saling ngobrol tentang cara mengatasi rasa minder.
Lambat laun, saya mulai berani bereksplorasi. Saya mencoba beberapa hal dan pada akhirnya, saya menemukan minat dan bakat saya, yaitu saya tertarik dengan jurnalistik [Majalah AQUILA], musik [violin dan paduan suara], dan podium [tata panggung] – estetika. Di Mertoyudan, saya ditempa menjadi pribadi yang berani dan bisa memimpin.
Kedua, langganan ke valet [semacam UKS]. Waktu kecil, saya termasuk anak yang sering sakit. Beberapa kali saya harus dilarikan ke rumah sakit; entah karena keracunan makanan, demam berdarah, operasi usus buntu, dan demam tinggi. Saat di Mertoyudan, saya termasuk seminaris yang kadang harus dibawa ke valet. Beberapa kali, orangtua sampai harus menjemput saya dan memindahkan saya ke Rumah Sakit Panti Rini, Kalasan. Untungnya, dalam keadaan sakit, selalu ada teman teman seminaris yang menunggu, bahkan keluarga selalu hadir dalam pengalaman sakit tersebut, sehingga saya tidak merasa sendirian.
Ketiga, re-electio [memilih lagi]. Di kelas IX [Medan Utama], saya sempat ingin mengundurkan diri dari seminari. Di saat teman-teman lain sudah mantap memilih kongregrasi atau keuskupan, saya malah memilih antara terus menjadi imam atau keluar. Saya masih ingat, saat itu ada erupsi Gunung Merapi. Seminari Mertoyudan menjadi posko barang bantuan dan pengungsian. Semua seminaris terlibat dan sibuk di posko pengungsian.
Akan tetapi, saat itu saya diminta rekoleksi pribadi. Saya tidak diperbolehkan membantu posko sampai saya membuat keputusan akhir. Saya merenung sendiri di kelas, kapel, atau di kamar dan mencoba menimbang-nimbang yang terbaik. Setelah beberapa hari, akhirnya saya memutuskan untuk lanjut menjadi frater.
Keempat, saya tidak sendiri. Satu kebahagiaan besar menjadi seminaris adalah kebersamaan yang erat. Selama empat tahun, pasti ada rasa bosan, rindu rumah, ingin merasakan kehidupan di luar seminari, dan merasa lelah, tetapi karena kebersamaan yang terjalin, saya merasa tersemangati lagi. Selalu ada teman yang berjalan bersama dan saling meneguhkan. Ada keceriaan dan keseruan dalam kehidupan harian. Inilah yang mewarnai dinamika formatio dari Seminari Mertoyudan sampai pada tahap tahbisan imam.
Memilih Keuskupan Agung Semarang [KAS]
Saat di Seminari Mertoyudan, saya tertarik terhadap dua pilihan; Jesuit [SJ] atau KAS. Dalam dua tahun pertama, saya dikenalkan dengan beberapa kongregasi dan keuskupan. Sampai kelas X, saya belum memutuskan untuk masuk SJ atau KAS.
Akan tetapi, melalui berbagai pergulatan dan pengalaman, di kelas XI [Medan Madya], saya memutuskan untuk menjadi imam KAS. Saat di Mertoyudan, saya kagum akan sosok Rm. YB. Mangunwijaya, Pr. Karya, hidup, dan perjuangan beliau menginspirasi saya untuk meneruskan karyanya. Selain itu, para romo yang berkarya di Paroki Kalasan selalu menyapa saya saat liburan. Saya masih ingat, Rm. Budi Setyo, Pr sering mengajak saya jalan-jalan ke Kentungan, beberapa paroki; makan bersama; rekreasi; dan dikenalkan karya-karya KAS. Selain itu, saat saya misdinar, saya terkesan dengan beberapa romo KAS yang dekat dengan misdinar.
Sadar bahwa iman panggilan saya tumbuh di KAS, dipupuk oleh para imam KAS, dan sosok idola saya adalah romo KAS, maka saya memutuskan untuk menjadi imam KAS. Saya ingin melayani umat yang telah menumbuhkan benih panggilan [umat lingkungan dan wilayah] dan meneruskan karya para imam KAS.
Perjalanan sebagai Frater KAS
Sebagai frater KAS, saya melewati empat masa formatio, 1) Seminari Tahun Orientasi Rohani [TOR] Jangli, 2) Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, 3) Tahun Orientasi Pastoral [TOP] di Seminari Menengah Mertoyudan, 4) Melanjutkan formatio dan studi di Roma. Dari sekian banyak hal yang saya dapatkan, ada beberapa hal yang ingin saya bagikan.
Pertama, panggilan ‘frater’. Momen penjubahan adalah saat yang haru dan membahagiakan. Saya mulai dipanggil dengan sebutan frater. Dalam berbagai pelayanan, umat sudah memanggil kami frater. Akan tetapi, ada satu pengalaman menarik tentang sebutan ‘frater’ tersebut, yaitu pengalaman peregrinasi [jalan kaki]. Saya dan kedua teman lain, berjalan kaki dari Jangli sampai Ganjuran. Selama perjalanan, kami tidak boleh menunjukkan identitas sebagai frater dan sebisa mungkin tidak membuka amplop yang berisi uang dan identias. Amplop tersebut bisa dibuka saat dalam bahaya maut. Jika ingin makan, kami harus meminta makan di warung tanpa membayar. Jika ingin minum, kami meminta air di rumah warga. Jika ingin mandi atau tidur, biasanya kami mencari mushola untuk membilas diri dan istirahat. Sungguh, pengalaman peregrinasi tersebut sangat berkesan dan menunjukkan betapa banyak orang baik yang mau membantu kami dan mengajari kami untuk percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi.
Kedua, aneka macam pastoral. Satu hal yang membahagiakan saat menjalani formatio di Kentungan adalah ada beragam jenis pastoral. Saya pernah mengajar agama di TK dan SD, mendampingi misdinar, mahasiswa, dan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan. Di setiap jenis pastoral, saya mendapatkan sesuatu yang menarik. Salah satunya saat pastoral di LP Wirogunan. Saya seolah-olah masuk ke ‘dunia yang lain’. Para warga binaan menceritakan pengalaman masa lalu, proses penerimaan, dan pertobatan yang mereka alami. Tentu, tempat pastoral yang lain memiliki kekhasan yang memperkaya saya.
Ketiga, frater sub pamong. Saya menjalani TOP di Seminari Menengah Mertoyudan. Awal-awal di sana, saya merasa kikuk. Dulu sebagai seminaris, sekarang menjadi pendamping [sub pamong]. Salah satu kesulitan yang saya alami adalah saat harus marah dan menghukum seminaris. Saya tidak terbiasa untuk menunjukkan kemarahan secara keras. Apalagi saat menghukum, saya harus memutar otak, hukuman apa yang formatif bagi seminaris tersebut. Kesulitan lain adalah penempatan diri sebagai teman dan pendamping. Kapan bisa dekat dan akrab, tetapi juga tegas dan formatif sebagai pendamping.
Frater Perantauan di Roma
Saat di Roma, saya tinggaldi Collegio Urbano “de Propaganda Fide” dan kuliah teologi di Universitas Kepausan Urbaniana, Roma. Collegio dan universitas tersebut adalah milik salah satu komisi Kepausan di Vatikan, yaitu evangelisasi bagi bangsa-bangsa. Di Collegio Urbano, saya tinggal bersama 163 frater projo dari sekitar 36 negara [Asia, Afrika, dan Amerika Latin] dan berasal dari sekitar 117 keuskupan.
Terdapat beberapa hal menarik yang bisa saya bagikan. Pertama, bergulat dengan bahasa. Dari pagi membuka pintu kamar sampai tidur lagi, semua percakapan menggunakan Bahasa Italia. Semua doa, pertemuan, bimbingan rohani, kuliah, ujian, diskusi, percakapan saat makan di ruang makan, diusahakan memakai Bahasa Italia. Beberapa bulan pertama, saya harus berjuang keras menguasainya. Di tahun pertama, saya kadang masih kesulitan menangkap isi kuliah. Beberapa dosen berbicara dengan sangat cepat dan menggunakan kosakata yang kadang tidak mudah dicerna. Oleh karena itu, saat menjelang ujian, menjadi waktu yang sangat melelahkan karena harus benar-benar paham materi, bisa mengatakannya dalam Bahasa Italia, dan tidak grogi saat ujian lisan di depan dosen. Selain itu, kesulitan menjadi berlapis saat belajar Bahasa Yunani/ Ibrani menggunakan bahasa pengantar Italia.
Kedua, mengulang banyak materi kuliah. Di sana, saya harus dengan lapang dada mengulang banyak materi kuliah yang sudah saya dapatkan di Kentungan. Saat itu, saya satu-satunya frater dari Indonesia yang mengajukan protes kepada dekan fakultas dan rektor collegio. Saya kurang legowo [ikhlas]untuk mengulang banyak materi. Akan tetapi, semua usaha protes terasa sia-sia karena tidak ada perubahan apapun. Beruntung saya bertemu Don Daniel [pemimbing rohani]. Dalam bimbingan rohani, pelan-pelan beliau memberikan pencerahan dan akhirnya saya bisa plong [lega]dan legowo [ikhlas] akan keputusan itu.
Ketiga, memahami kebudayaan lain. Perjumpaan dengan budaya Eropa, Afrika, dan Asia, menjadi tantangan tersendiri. Mereka mempunyai cara pikir dan kebudayaan yang beragam. Tidak dimungkiri bahwa kadang ada kesalahpahaman. Sebuah tantangan besar saat saya menjadi ketua angkatan. Tidak mudah menyatukan isi kepala para frater dari berbagai negara dan konsep yang bermacam-macam. Akan tetapi, setelah setahun berlalu, kami semakin akrab dan menjadi saudara.
Kekagetan dengan budaya Eropa, amat saya rasakan untuk pertama kali saat summer camp dengan orang muda katolik [OMK] Paroki Cerreto Guidi, Empoli. Kami tinggal hampir sebulan di pegunungan. Di sana mereka mendirikan tenda semi permanen dan ada satu pastoran di sana. Saya dan satu teman dari Vietnam menjadi minoritas di antara orang-orang Italia. Bahasa, cara berpikir, dan bertindak mereka, membuat kami harus beradaptasi dan sungguh menyatu dengan mereka.
Keempat, menikmati liburan. Saat liburan Natal, Paskah, dan musim panas, adalah kesempatan baik untuk liburan dan mengenal kebudayaan Italia dan Eropa. Saya memesan tiket jauh-jauh hari dan berkunjung ke beberapa negara tetangga Italia. Selain itu, liburan musim panas juga bisa digunakan untuk kursus bahasa asing. Liburan semacam itu menjadi semacam penghiburan dan rehat dari studi, rutinitas, dan formatio yang sering menyita pikiran dan tenaga.
Kelima, kebersamaan yang meneguhkan. Kehadiran para romo KAS dan keuskupan lain, teman-teman frater, dan para romo kongregasi, suster dan bruder yang berkarya di Roma membuat saya merasa tenang dan bahagia. Kami bertemu, sharing, masak bersama, dan makan bersama. Kegiatan sederhana seperti berbelanja di pasar, memasak nasi goreng, bakso, bakwan, soto, dll, membuat saya bahagia dan semangat untuk tenanan [bersungguh-sungguh] dalam menjalani perutusan. Selain itu, perjumpaan untuk berbagi pengalaman dan sharing kesulitan, menjadi peneguh di saat-saat sulit. Kebersamaan tersebut meneguhkan saya untuk setia dan semangat. Saya merasa tidak sendiri. Selalu ada sahabat yang berjalan bersama.
Selama tiga tahun di Roma, saya mencoba menikmati setiap tahap. Saya mencoba meletakkan hati untuk segala hal, sehingga banyak hal dilalui dengan lebih ringan. Perlahan, saya bisa beradaptasi dan ‘berlari dengan lebih kencang’, sehingga membuahkan hasil yang baik. Semua hal baik yang saya usahakan di sana, dalam bingkai seorang frater Keuskupan Agung Semarang. Di balik diri pribadi, saya membawa nama Keuskupan Agung Semarang. Saya bersyukur bahwa tekad dan usaha saya selalu disertai dengan rahmat Tuhan, dan akhirnya saya lulus dengan hasil baik.
Terima kasih kepada para staf Collegio Urbano, para dosen di Universitas Urbaniana, Kedutaan Besar Indonesia untuk Tahta Suci, UNIO KAS di Roma, para frater [terutama para frater dari Indonesia dan Timor Leste], IRRIKA, para romo paroki tempat pastoral, dan para karyawan. Berkat penyertaan-Nya, saya dapat menyelesaikan perutusan ini dengan baik dan dapat kembali ke Keuskupan Agung Semarang untuk melanjutkan proses formasi berikutnya.
Tahbisan Diakonat
Pada hari Jumat, 23 Oktober 2020, saya menerima rahmat tahbisan diakonat dari tangan Mgr. Robertus Rubiyatmoko di Kapel Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan. Bersamaan dengan minggu misi sedunia, kami mengambil tema “Ini Aku, Utuslah Aku!” [Yes 6:8]. Untuk masa diakonat, saya bertugas di Paroki Santo Petrus Canisius, Wonosari. Di Paroki tersebut, saya mengalami pengalaman pertama tinggal di pastoran dan mengumat di paroki untuk lebih dari sebulan.
Bersama Rm. Siwi, Pr, Rm. Adi, Pr, dan seluruh umat, saya sungguh mengalami pengalaman luar biasa. Saya rasa semua pengalaman masa diakonat di Wonosari, berkesan. Banyak pengalaman perdana yang saya rasakan. Sebagai contoh: membaptis, penyelidikan kanonik, meneguhkan pernikahan, pemberkatan jenazah, rumah, dan tempat usaha. Banyak hal yang saat dan setelah Tahun Orientasi Pastoral [TOP] tidak saya dapatkan, justru saya dapatkan di Wonosari. Berbagai perjumpaan dengan umat menggerakkan saya untuk semakin tenanan dalam menjalani panggilan dan membagikan kasih yang telah saya terima dengan cuma-cuma. Pengalaman diakonat tersebut meneguhkan saya untuk melangkah ke tahap berikutnya, yaitu tahbisan imamat.
Rahmat yang Mengagumkan
Bagi saya, terdapat rahmat yang mengagumkan dalam kisah saya yang sederhana. Ada kasih yang selalu tercurah dalam kisah saya. Kasih yang tercurah dari keluarga, sanak saudara, teman-teman, staf, setiap pribadi yang saya jumpai, dan setiap pengalaman yang saya jalani. Sadar akan hal tersebut, saya membiarkan diri saya dikasihi secara penuh. Saya membiarkan diri saya dikasihi oleh seluruh pribadi yang saya jumpai dan diperkaya oleh pengalaman yang saya jalani. Dengan membiarkan diri dikasihi, saya selalu berada di dalam “rumah” Yesus dan siap untuk membawa keluar kasih tersebut kepada semakin banyak orang.
Tahbisan Imamat adalah rahmat yang mengagumkan. Saya yang penuh dosa, sesungguhnya tak layak untuk menjadi Kristus yang lain. Akan tetapi, rahmat dan kasih-Nya yang lebih besar dari segala dosa dan kerapuhan, memampukan saya untuk menjawab “ya” untuk menyambut Rahmat Tahbisan Imamat ini. Setelah saya penuh dengan kasih-Nya, saya siap untuk mewartakan kasih-Nya. Saya hendak meneruskan rahmat Yesus yang Bangkit, yaitu “Damai Sejahtera Bagimu” bagi umat dan masyarakat.
Menutup refleksi sederhana ini, saya hendak berbagi sebuah doa yang saya senangi, yaitu Doa kepada Roh Kudus [Allo Spirito Santo] dari Santo John Henry Newman.
Guidami, dolce Luce; attraverso le tenebre che mi avvolgono, guidami Tu, sempre più avanti! Nera è la notte, lontana è la casa: guidami Tu, sempre più avanti! Reggi i miei passi: cose lontane non voglio vedere; mi basta un passo per volta. Guidami, dolce Luce, guidami Tu, sempre più avanti!
Bimbinglah aku, Terang yang lembut; melalui kegelapan yang mengelilingiku, bimbinglah aku, selalu lebih maju! Malam gelap, rumah jauh, bimbinglah aku selalu lebih maju! Kuasailah langkahku: aku tidak ingin melihat hal-hal yang jauh; cukuplah satu langkah ke depan. Bimbinglah aku, Terang yang lembut, bimbinglah aku, selalu lebih maju!
Dalam perjalanan imamat ini, saya mohon bimbingan Roh Kudus, agar menguasai langkah saya dan membimbing saya selalu lebih maju. Tidak usahlah berusaha terburu-buru melihat hal-hal yang terlampau jauh, tetapi bimbinglah saya untuk melihat satu langkah ke depan. Saat-saat sulit dan gelap, saya berdoa agar Terang Roh Kudus selalu membimbing saya ke jalan yang benar. Bimbinglah selalu setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan saya dalam menjalani imamat ini.