oleh Alusius Heru Tricahyanto
Dunia dilanda kecemasan dengan merebaknya virus corona baru. Setelah China menampakkan keberhasilannya mengatasi virus sangat menular ini dan WHO menetapkannya sebagai pandemi dunia, negara-negara lain masih berjibaku melawannya. Italia kondisinya terpuruk dengan tingkat kematian ribuan setiap hari. Di Eropa dan Amerika tingkat infeksinya terus meningkat. Di Indonesia pun diperkirakan masih akan naik jumlah orang yang terinfeksi virus ganas ini. Meskipun beberapa negara Asia seperti Singapura, Vietnam terlihat mulai berhasil menekan angka kematian dan angka yang terinfeksi tidak naik tajam karena warganya yang disiplin.
Bagaimanakah memaknai kecemasan global ini? Mengapa Allah terlibat diam saja? Mengapa Allah membiarkan manusia dilanda penyakit yang sangat ganas ini? Katanya Allah adalah Kasih, dimana cintaNya saat ini? Berbagai pertanyaan jika dilanjutkan akan seperti litani yang menyangsikan kuasa Allah. Apakah harapan dan Tanah Terjanji itu masih ada?
Allah selalu konsisten sejak dahulu kala saat proses penciptaan manusia yang diciptakannya menurut gambar dan rupa Allah. Manusia diberi kuasa atas seluruh bumi dan segala binatang yang merayap di bumi (Kej 1:26). Konsistensi Allah sungguh terus dijalankan, bahkan melalui Sang Putra direlakanNya dirinya dihakimi.
Tragis memang, manusia yang diciptakan seturut citraNya, mendakwa Allah di hadapan pengadilan yang tidak sah. Pilatus yang menyangsikan Yesus dengan pertanyaan provokatif : “Apakah Engkau Raja ?” (Yoh 18:33) sama seperti kita yang cemas dan khawatir berlebihan sehingga menyangsikan apakah Tuhan benar-benar hadir dalam kehidupan. Akhirnya Pilatus yang tidak mendapati satu kesalahan pun padaNya menyerah pada massa : “Ambillah Dia, dan salibkanlah Dia” (Yoh 19:6).Bukankah ini tidak banyak berbeda dengan kita ketika berhadapan dengan masalah yang begitu besar lalu dengan mudahnya “menyalibkan” harapan?
Harapan dan optimisme seringkali kita campuradukkan. Pandemi virus corona memang bukan masalah enteng. Beberapa ahli memperkirakan yang terjangkit virus ini di Indonesia masih akan terus meningkat tajam. Sementara yang meninggal dunia di kisaran 9% lebih. Namun ada yang optimis dalam waktu 3 bulan akan teratasi. Jika tidak, lalu bagaimana? Optimisme menjadi rapuh jika menyandarkan pada kekuatan manusiawi belaka. Serapuh dunia kita ini yang diobrak-abrik oleh benda yang belum genap disebut sebagai makhluk hidup (virus ).
Menghidupkan Harapan
Para murid sempat kehilangan harapan setelah menghadapi kenyataan bahwa Yesus malahan diserahkan oleh imam kepala dan para pemimpin negeri untuk disalibkan. Padahal dulu para murid berharap Yesus datang membebaskan bangsa Israel. Waktu itu Kleopas dan para murid sedang berjalan diiringi oleh seseorang. Karena sudah habis harapannya, sehingga ada sesuatu yang menghalangi pandangan mata mereka bahwa yang berjalan di dekatnya adalah Yesus sendiri.
Pandangan hati kita seringkali juga terhalang karena berbagai kejadian yang mematikan harapan. Kadang-kadang mau berharap baik pun tidak berani, takut terjadi sebaliknya.
Kita beruntung beriman pada Yesus yang wafat namun bangkit lagi sesudah tiga hari. Itulah inti iman kita, dan Yesus sendiri sudah menjamin dengan jaminan yang teramat sangat mahal. Dan tidak ada pemimpin agama lain yang seperti Yesus, rela mengorbankan diriNya disalib. Tidaklah mungkin Ia yang rela disalib lalu akan menghancurkan dunia ciptaanNya ini.
Harapan yang berlandaskan iman bukan berarti terus pasrah diam saja, tidak bergerak. Justru dengan akar iman itulah batang dan daun akan tumbuh subur, lalu membuahkan tindakan nyata. Tindakan nyata ini mengarah kepada pemecahan masalah, bukan mencari siapa yang salah itulah yang saat ini dibutuhkan bagi masyarakat sekitar kita. Perbuatan kita menjadi warta gembira bagi orang-orang di sekitar kita. Di saat situasi krisis seperti inilah iman kita diuji untuk menghasilkan buah nyata berupa perbuatan nyata yang semata-mata demi kemuliaan Allah.
Berkah Dalem
25 Maret 2020
Tentang penulis;
Heru Tricahyanto, lahir dan dan besar di Wonosari, Gunungkidul. Mulai menulis di Majalah Utusan sebagai pengisi waktu bekerja. Lalu bergabung dengan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias dan ikut menyisipkan karya tulisannya di buku antologi Ndherek Gusti dalam Bahtera Mengarungi Kehidupan (2019,Bajawa Press) dan Setia pada Sebungkus Nasi (2019, Bajawa Press) serta sebuah buku refleksi Suara dari Keheningan (2019, Pohon Cahaya)