Bertumbuh di Dusun Bulu, Kelurahan Gayamharjo, Istanto kecil adalah anak desa dalam arti sebenarnya. Rumahnya berada di lereng bukit yang tandus. Daun-daun jati berserakan sepanjang jalan tanah menuju ke Dusun Bulu. Setelah jalan yang menanjak, rumah Istanto kecil berada di sisi sebelah kiri. Bapaknya adalah seorang guru.
“Biyen omah iki paling apik. Ning saiki wis ora. Kepara malah sing elek,” katanya dalam renungan dalam misa syukur 40 tahun imamat dan 60 tahun usianya. Dulu rumah (kami) ini paling bagus, tetapi sekarang tidak lagi. Malah dapat dikategorikan sebagai yang tidak bagus. Misa syukur dirayakan pada tanggal 6 September 2019 dan dimulai pulul 10.00 saat matahari mulai menerik di antara pohon-pohon jati.
“Tapi itu juga artinya rahmat Tuhan sungguh bekerja di tempat kering ini,” lanjutnya disambut gelak banyak sekali umat yang hadir memenuhi halaman rumah beliau dan rumah tetangga lainnya.
Mengapa misa syukur 40 tahun?
“Nang Yesuit ki ra ana peringatan 40 tahun imamat. Ning tak anakke dhewe. Ben ana alasan nggo pesta, ala desa. Nganake dhewe, lha nunggu emas ki kesuwen. Mbayuku wis bar operasi pindho. Mas Darmadi wis nganggo teken. Mas Nardi yo nganggo teken. Sepuluh tahun maneh iyo nek isih isa mangan lemper, “ lanjutnya disambut derai tawa hadirin. Dikatakan tidak ada peringatan imamat 40 tahun di komunitas Yesuit. Meski demikian rasa syukur 40 tahun imamatnya dijadikan alasan untuk menyelenggarakan pesta syukur ala desa.
Menurutnya menunggu sepuluh tahun dapat menjadi terlalu lama. Saat ini kedua saudara lelakinya sudah berjalan dengan bantuan tongkat, saudari perempuannya sudah dioperasi dua kali. Maka sepuluh tahun dapat menjadi sebuah rentang waktu yang panjang. Secara bercanda dikatakan belum tentu 10 tahun lagi masih dapat menikmati (kue) lemper.
Lemper adalah penganan dari beras pulut yang dibungkus daun pisang, di bagian tengahnya biasanya diberi daging ayam yang dimasak sedemikian rupa dengan parutan kelapa. Masyarakat desa masih menganggap lemper adalah salah satu penganan favorit. Meski demikian, bila saat 10 tahun itu hadir dan dapat dirayakan bersama maka sungguh merupakan berkah yang semakin melimpah dari Tuhan.
Masuk novisiat pada Hari Minggu Palma tanggal 15 Juli 1979, Istanto mensyukuri rahmat yang menyertainya dalam bertumbuh secara fisik dan iman di tempat yang kering dan tandus. Meskipun sekarang sudah berlimpah air karena kemajuan jaman.
Dan keluarga, menurut Istanto, berperan sangat penting dalam memberikan kestabilan batin dan hati dalam membantu menumbuhkan sebuah pribadi sehingga menjadi pribadi yang kuat dalam menghadapi banyak badai persoalan.
“There are some of our neighbours attending this mass wearing their hijab. Together with us, attending our celebration. It is our custom here. It is a good gesture, that all of us, in the name of God, come together and give respect to our celebration. Applause to them, applause to our neighbours who are Moslems, “ terangnya pada hadirin yang tidak berbahasa Indonesia dan disambung tepuk tangan panjang seluruh yang hadir.
Istanto juga mengenang Lik Marji, Lik Kimpul dan Lik Sarto teman mainnya di kala kecil. Sumarji adalah teman main yang bertangan kidal. Dengan Lik Marji, Istanto kecil dua kali berantem.
“Ning aku gelut pindo kalah terus karo Lik Marji,” gelaknya. Ia mengingat dua kali berantem dengan Lik Marji dan mengalami kekalahan. Istanto mencatat panggilan imamatnya muncul dan bertumbuh dalam kebersamaan dan perjumpaan dengan orang-orang sederhana di sekitarnya. Kelak, banyak perjumpaan di tempat-tempat lain yang juga terus menginspiransinya.
Serikat, demikian ia menyapa Serikat Yesus, dicatat sebagai bagian penting dari perjalanan imamatnya. Baik dukungan dari pribadi-pribadi yang bergabung di sana maupun sebagai tempat yang terus menyemaikan pangilannya. Pada sisi yang lain, kesungguhan mengikuti tahapan-tahapan proses menjadi bagian penting dari perjalanan imannya. Meski ia dengan rendah hati menyebut diri bukan pribadi yang gemilang secara akademis.
“Nek nang kelas ana wong 35, aku nomor 32,” demikian ia menjelasgambarkan tentang posisinya. Kalau di kelas ada 35 murid, ia ada di posisi nomor 32.
“Ning aku prisipe siji, nek ora kon metu aku ora metu,” ia menyampaikan salah satu kiatnya tetap bertahan di Serikat Yesus. Salah satu prinsipnya adalah kalau tidak diminta keluar oleh serikat ia tidak akan pernah mengundurkan diri. Ia mengingat betapa girang hatinya ketika mengetahui bahwa dirinya diterima di Serikat Jesus dulu. Ia melonjak kegirangan. Kegembiraan itu juga yang rupanya terus mendorong Istanto dalam menghidupi panggilannya.
“Lak raiku ketok seneng, to?” tanyanya kepada para hadirin. Ia menanyakan apakah mukanya terlihat cukup gembira pada perayaan ini. Tawa kembali berderai di pelataran sebuah halaman Dusun Bulu.
Beberapa nama disebut sebagai pribadi-pribadi yang mendukung dan menginspirasi panggilannya. Mereka juga ditera sebagai teman seperjalanan yang hebat. Pada catatan yang lebih khusus ia menorehkan bahwa mereka semua adalah bukti bahwa Tuhan sungguh hadir dan mengembangkan karya perutusannya dalam cara-cara yang tidak dapat ia gambarkan sebelumnya. Seluruh pengalaman ini kemudian direfleksikan dengan mengajak semua yang hadir untuk menyanyikan lagu “Tiap Langkahku”. Lagu berkumandang, dan sebagian hadirin terlihat membiarkan matanya berkaca-kaca. Menyadari betapa Tuhan sungguh baik.
/Tiap langkahku, diatur oleh Tuhan. Dan tangan kasihNya, memimpinku. Di tengah badai dunia, menakutkan. Hatiku tetap tenang teduh/
/Tiap langkahku, kutahu yang Tuhan pimpin. Ke tempat tinggi ku dihantarNya. Hingga sekali nanti aku tiba. Di rumah Bapa, surga yang baka/
Pada refleksi berikutnya dipilihnya lagu Largo karya George Frederic Handel sebagai lagu komuni yang membawa Istanto merefleksikan lebih jauh bahwa hidupnya adalah sebuah perjalanan penuh syukur dan limpah rahmat semata-semata karena kebaikan Tuhan. Hidup bagi Istanto adalah memberi, dengan demikian maka ia merasakan kelimpahan berkat dari Tuhan. Tidak dapat dibayangkan bila tidak diberikan hidupnya bagi orang lain maka betapa ia akan menjadi miskin. Dengan terus memberi Istanto merasa hidupnya terus berkembang dan mekar.
Hidup dan perjalanan hidupnya selama 60 tahun, secara khusus 40 tahun di Serikat Jesus, digambarkan oleh Istanto seperti pohon bayam yang semakin dipetik akan semakin lebat daunnya dan akarnya terus menguat. Dengan semakin murah hati maka akan semakin mendapatkan banyak rahmat dan kelimpahan dalam hidup.
Dan keluarga, menurut Istanto, berperan sangat penting dalam memberikan kestabilan batin dan hati dalam membantu menumbuhkan sebuah pribadi sehingga menjadi pribadi yang kuat dalam menghadapi banyak badai persoalan.
*Dituliskan oleh Adrian Diarto berdasarkan homili yang disampaikan Rama V. Istanto Pramuja, SJ di Dusun Bulu, Kelurahan Gayamharjo. Selamat merayakan hidup yang penuh syukur, Rama. Terima kasih atas kesaksian dan inspirasi yang luar biasa. Berkah Dalem.