Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi 2018 – Hari ke – 19
-Merenungkan-
Midodareni
Rini dan Tedi mendatangi suatu pastoran, tempat mantan Rama Paroki mereka sekarang bertugas. Sewaktu Rama itu bertugas di paroki mereka, mereka sudah dekat dan akrab dengan Rama itu. Setelah omong sana-sini, Rini dan Tedi memohon kesediaan Rama untuk memimpin Misa Midodareni. Sementara, yang akan memimpin Misa Perkawinan mereka adalah Rama Paroki yang sekarang.
Rama itu menjelaskan dengan tenang, lembut, tetapi tegas yangintinya ialah bahwa midodareni itu tidak perlu dilaksanakan dengan Misa Kudus. Setelah Rini dan Tedi dapat mengerti dan menerima penjelasan ini, mereka pulang kembali.
Acara midodareni diadakan pada malam hari menjelang ari perkawinan. Orang Jawa mempunyai keyakinan bahwa pada malam menjelang perkawinan itu, para bidadari turun dari kahyangan untuk bertandang di rumah calon mempelai perempuan itu dan akan mempercantik calon pengantin itu.
Biasanya pada malam midodareni itu diadakan pula rangkaian acara adat di rumah pengantin putri, seperti acara seserahan, pemberian petuah, doa-doa, dan berbagai simbol yang semuanya secara adat memiliki makna.
Dalam tradisi Katolik, puncak perayaan perkawinan baru terjadi pada keesokan harinya, yakni saat pengucapan janji perkawinan. Itulah sebabnya, midodareni sebaiknya tidak dilangsungkan dalam Misa Kudus. Mengapa? Agar berbagai upacara adat di seputar perkawinan itu tetap mengalami sebuah proses yang puncaknya adalah pengucapan janji perkawinan.
Dan pada saat itulah perayaan perkawinan Katolik semestinya dilangsungkan dalam Misa Kudus (bdk. SC 78). Jangan sampai misalnya, karena pengantin atau keluarga memiliki relasi dekat dengan beberapa Rama, lalu para Rama itu dijadwal untuk setiap tahap upacara di seputar perkawinan ini, termasuk midodareni.
Kalau seperti itu yang terjadi, Misa Perkawinan sudah tidak menjadi istimewa, karena tidak menjadi puncak lagi. Sebaliknya, midodareni dengan ibadat dapat dipusatkan pada doa permohonan akan karunia Roh Kudus agar memberikan kekuatan dan kesucian hati untuk menyambut puncak perayaan perkawinan dalam Misa Perkawinan keesokan harinya.