Perayaan Ekaristi Kamis Putih yang kedua di Gereja Marganingsih Kalasan berlangsung mulai pukul 20:00 dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan dipandu oleh Edgar sebagai MC. Perayaan ekaristi dipimpin oleh Rm Ambrosius Wignya Sumantara, Pr dan dibantu lektor Aurel dan Nindya.
Perayaan ekaristi juga berlangsung khusuk dan semarak karena dukungan paduan suara gabungan dari lingkungan FX Gendingsari dan lingkungan St Elisabeth Perum GDA Kalasan Timur dengan diiringi Haryo sebagai organis. Kelompok koor dengan dirijen Angela Karina Dewanti dan CH. Dwi Eni Budiningsih ini mengenakan seragam baju putih dengan sal warna merah dan menyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan.
Pada perayaan ekaristi ini juga dilakukan ritual pembasuhan kaki yang dilakukan oleh Rm Wignya kepada 12 rasul yang diwakili umat dari lingkungan.
Perayaan ekaristi diakhiri dengan perarakan Sakramen Maha Kudus dan kemudian dilanjutkan acara tuguran sampai pukul 24:00
Berikut ini adalah Permenungan Kamis Putih yang ditulis Romo Wignya Pr
EKARISTI: MENGKUDUSKAN TUBUH & KURBAN KITA”
PENGANTAR
Tri Hari Suci adalah masa liturgi paling singkat, namun paling penting dalam iman Katolik. Mengapa penting? Karena di sinilah puncak liturgi iman Katolik. Di sinilah karya agung keselamatan Tuhan sungguh-sungguh terlaksana dengan peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.
Bahkan, ada beberapa hal unik dalam liturgi Tri Hari Suci, salah satunya penggunaan lonceng kayu (crotalus). Mari kita mengenal “lonceng kayu”. Selama dinyanyikan “kemuliaan” pada misa Kamis Putih sore, seturut adat kebiasaan, lonceng gereja dapat dibunyikan. Dan setelah itu, tidak boleh dibunyikan lagi sampai dengan “Kemuliaan” pada malam Paskah. Tujuannya, agar suasana semakin muram, dan menghangatkan ingatan kita akan sengsara dan derita Tuhan kita Yesus Kristus.
Secara tertulis, peraturan liturgi tidak mendeskripsikan pengganti bunyi-bunyian misa. Namun, dalam tradisi suci yang sudah dilaksanakan turun-temurun, digunakan lonceng kayu (crotalus) sbagai penggantinya. Crotalus berasal dari bahasa Yunani, krotalon, yang artinya rattle (berdesis, berdetak). Alat ini umumnya digunakan pada saat prosesi pemindahan Sakramen Mahakudus (dalam sibori, bukan mostrans) dari altar gereja ke altar kapel (atau ruangan lainnya) untuk Ibadat Tuguran. Namun, beberapa dekade terakhir, lonceng kayu (crotalus) mulai ditinggalkan karena menurunnya perhatian umat beriman terhadap liturgi tradisional. Ayo kita lestarikan alat liturgis ini!
Jadi, misa Kamis Putih tidak diakhiri dengan ritus penutup atau berkat dari Imam. Sebagai gantinya, ada ritus pemindahan Sakramen Mahakudus, dari altar utama ke altar (atau tabernakel) lain. Setelah tiba di altar lain, dimulailah Ibadat Tuguran.
Tuguran memilki arti “berjaga-jaga”, seturut dengan perintah Yesus bagi murid-muridNya untuk menemani-Nya. Ketika Ia sedang berdoa di Taman Getzemani, sebelum ditangkap. Hal itulah yang dikenang pada Ibadat Tuguran, yaitu berjaga-jaga bersama Yesus.
Ibadat Tuguran merupakan salah satu bentuk adorasi (dengan menggunakan sibori, bukan monstrans) yang menghendaki suasana hening. Adorasi artinya mengagumi, memuja dan menyembah. Bila diinginkan, dapat dibacakan bagian-bagian Injil Yohanes 13-17. Injil dibacakan dengan khidmat, dan umat mendengarkan. Ibadat Tuguran berakhir pada pukul 24.00. Semua cahaya dipadamkan, kecuali Lampu Tabernakel yang menandakan kehadiran Allah.
RENUNGAN
Saya tertarik dengan buku yang dipakai untuk bahan rekoleksi pembaruan janji imamat di Bandungan pada tanggal 26-27 Maret 2018 ini. Judul buku tersebut adalah “Imam bukan miliknya sendiri” karangan Uskup Agung New York Amerika – Mgr. Fulton John Sheen. Ia lahir di Illionis Amerika Serikat pada tanggal 8 Mei 1895, meninggal pada tanggal 9 Desember 1979 di kediamannya New York-Amerika Serikat. Ia mendapatkan proses beatifikasi dan kanonisasi mulai tahun 2002 sampai pada tanggal 2 Februari 2008. Semoga ia segera mendapatkan anugerah sebagai orang kudus Gereja-Nya.
Dari judul buku di atas, kita lalu bertanya-tanya, kalau imam bukan miliknya sendiri, lalu milik siapa? Tentu spontan kita menjawab milik Tuhan dan Gereja. Tanggapan selanjutnya bisa jadi kita langsung bilang…asyik milik Tuhan dan Gereja sehingga aman terjamin dan terkendali. Namun, di balik itu juga kita justru tertantang untuk “mempersembahkan” seutuhnya untuk Tuhan dan Gereja (umat beriman) dengan segala konsekuensinya.
Lalu apa kaitan buku tersebut dengan Ekaristi Kamis Putih ini? Liturgi Ekaristi Kamis Putih mengenangkan: 1) pengadaan Ekaristi dan Imamat oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri dengan adanya kenangan Perjamuan Malam Terakhir, dan 2) kenangan akan perintah cinta kasih persaudaraan yang ditandai dengan teladan Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Dalam hal ini, menurut hemat saya secara khusus Fulton J. Sheen menuliskan secara khusus dalam tema “Ekaristi dan Tubuh Imam” pada halaman 273-288. Bahkan kemarin dalam rekoleksi para imam di Bandungan, secara khusus pendamping rekoleksi memberikan judul “Secerdos – Victima” (Imam – Korban).
Dalam buku tersebut, mulai halaman 273 dan seteruskan dituliskan bahwa ada orang yang pesimistis terhadap tubuh kita (bdk. aliran Jansenistik). Aliran in mengatakan bahwa tubuh digambarkan sebagai seekor “cacing” dan “musuh dari jiwa”, seakan-akan jiwa dapat diselamatkan tanpa tubuh. Namun, ingat bahwa manusia adalah seorang pribadi, gabungan antara tubuh dan jiwa. Bukankan saat Ekaristi Tuhan Yesus berbicara mengenainya dalam hubungan bukan hanya terhadap jiwa, namun juga terhadap tubuh, yang akan turut ambil bagian dalam Kebangkitan? (Yoh 6:39; Ayub 19:25, Yeh 37:13; 1Kor 15:35-44). Apa yang dikatakan mengnai Tuhan Yesus saat Ia datang ke dunia selayaknya diterapkan kepada setiap imam (bahkan kita semua pengikut-Nya): “Englau telah menyediakan tubuh bagi-Ku” (Ibr 10:5). Yang dipersembahkan bukan hanya korban bakaran (PL) tetapi juga tubuh kita ini. “Dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seleluh kepenuhan ke-Allahan (Kol 2:9). Sungguh ini adalah PENGHARGAAN terhadap TUBUH kita ini.
Penghargaan terhadap tubuh akan terwujud dengan sendirinya dalam dua cara, yaitu 1) dengan kemurnian tubuh dan 2) dengan semangat pengorbanan. Untuk itu para imam khususnya dan umat beriman pada umumnya haruslah tetap menjaga kemurnian tubuh kita (bdk. 1Kor 6:13; 1Kor 6:15). Bahkan, khusus untuk para imam dikatakan bahwa tubuh para imam bukan milik para imam. Mereka hanya sebagai pengelolanya. Ia diwajibkan untuk menggunakannya sesuai arahan dari Sang Imam Agung (bdk. 1Kor 6:19-20). Tubuh imam adalah bait Allah, sehingga eorang imam harus menunjukkan rasa hormat yang lebih besar. Caranya adalah bagaimana ia menampilkan dirinya sebagai orang yang datang di muka pintunya, bagaimana ia menjaga kesisipilan tubuhya, bebas dari kelebihan makanan dan minuman, semuanya dibimbing oleh naluri yang pantas sebagai bait Allah. Tubuh imam adalah tembok bait, nalurinya adalah gerbangnya, pikirannya adalah ruang tengahnya, hatinya adalah altar-imam dan jiwanya adalah yang kudus dari yang kudus (hlm. 276). Wajah para imam adalah pintu jiwa, dan oleh karenanya ia tidak boleh memalukan bait Allah. Penampilan yang suram dan sedih, keluhan dan rasa tidak senang, tidak pantas menjadi milik tubuh yang adalah bait dari Roh Kudus dan yang menyentuh Tubuh dan Darah Kristus setiap pagi di altar. Di wajah itu akan memancar keluar Hadirat Ilahi.
Bahkan di akhir tema mengenai “ekaristi dan tubuh imam”, Fulton J. Sheen berpesan untuk para imam supaya tetap menjaga KEMURNIAN tubuhnya (hlm. 276-278). Tdk hanya itu, Sheen juga berpesan khusus pada anak-anak muda supaya diajarkan mengenai kemurnian terhadap tubuh mereka (hlm. 278-283) dan diingatkan pula khusus untuk para imam bahwa tubuh mereka adalah suatu persembahan kurban yang hidup bagi Allah (dan juga kepada Gereja)-hlm. 283-287. Sheen juga mengatakan bahwa Ekaristi merupakan motivasi dari pengurbanan yang hidup bagi para imam (bdk. 1Kor 11:26). Yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah….Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku (flp 1:20).
PESAN PASTORAL
Dengan mengambil inspirasi dari bukunya Fulton Sheen dengan judul “Imam bukan miliknya sendiri”, khususnya bagian “Ekaristi dan Tubuh Imam”, tentu kita dapat mengkaitkannya dengan perayaan Ekaristi Kamis Putih ini sbb:
- Semoga para imam (sacerdos) semakin “dilayakkan” oleh Tuhan dan Gereja-Nya untuk semakin layak dan pantas juga mempersembahkan Ekaristi Kudus sebagai pengenangan pemberian diri Tuhan seutuhnya.
- Kita pun umat Tuhan semakin pula dimampukan untuk mempersembahkan tubuh kita yang hina-dina ini untuk persembahan diri seutuhnya kepada Tuhan, kita menjaga kemurnian tubuh kita, kesehatan tubuh dari segala sakit-penyakit dan sebagainya. Kita pun semakin “melayakkan” diri kita, tubuh kita setiap kali kita mengikuti perayaan Ekaristi (bersih, berpakaian, sopan, dll)
- Melalui dan dengan tubuh kita, kita semua pun berani berkorban (victima), memberikan diri seutuhnya dalam tugas dan pelayanan kita sehari di tengah keluarga, masyarakat, Gereja dan bangsa serta negara kita tercinta. Kita”hadirkan” tubuh (dan jiwa) kita seutuhnya dalam kehidupan bersama di dunia ini.
Akhirnya, semoga semangat Ekaristi yang adalah pemberian diri TUBUH YESUS seutuhnya kepada umat manusia sungguh-sungguh menginspirasi diri kita untuk memberikan diri kita seutuhnya untuk Tuhan dan sesama dengan saling mengasihi dan melayani (: saling membasuh kaki) di antara kita. Semoga setiap kali kita merayakan Ekaristi, tubuh (dan jiwa) kita semakin dikuduskan oleh-Nya dan kita pun semakin boleh meneladani kasih pengorbanan-Nya. Kita pun berani berkorban kepada Tuhan dan sesama.
SELAMAT MERAYAKAN EKARISTI KAMIS PUTIH –KENANGAN PERJAMUAN TUHAN & KASIH-NYA!!!
Kalasan, 29 Maret 2018
Rm. A.W. Wignyasumantara, Pr