Pernah suatu kali aku melihat ibu sibuk mengelap sudut matanya. “Ibu menangis ya?” tanyaku berbisik di telinganya. Ibu tidak terlalu menanggapi pertanyaanku. Aku berusaha khusuk mengikuti konsekrasi. Sejak aku menyambut komuni pertama, aku tidak berani lagi bersikap tidak peduli seperti sebelumnya. Kata ibu, Yesus datang di hadapan kita, mewujud dalam rupa roti dan anggur. Aku sudah sepantasnya bersikap hormat.
Di luar gereja aku masih penasaran. “Kenapa tadi ibu menangis? Ibu kangen Mbah Akung lagi?” tanyaku mendesak. Ibu melempar senyum.
“Ibu banyak salah, belum menjadi orang yang baik. Tapi Yesus tetap saja baik!” ibu menjelaskan sambil terus menuntun tanganku tanpa melihat ke arahku.
“Ah, Ibu lebay! Tidak perlu pakai nangis juga kali!” aku meledek ibu.
“Semoga suatu saat kamu akan mengalaminya juga. Mengikuti ekaristi dengan sepenuh hati akan membuat kita tersentuh oleh cintaNya.” Aku tak membantah lagi jawaban Ibu. Kuimbangi langkahnya supaya aku tak tertinggal di antara padatnya umat yang keluar meninggalkan gereja.
Catatan: Penagraf adalah cerpen 5 paragraf
Maria Lupiani adalah sastrawan dan anggota KPKDG (Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias) Penulis lahir di Bandung 44 tahun yang lalu. Ibu rumah tangga dan guru bimbel untuk anak-anak sekolah dasar. Pernah menjadi salah satu kontributor dalam buku Menjadi Ibu Itu Seru dan Melahirkan Itu Seru. Menulis menjadi salah satu caranya melepas dan berbagi rasa.