Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi 2018 – Hari ke – 17
-Merenungkan-
Tradisi Upacara Pertunangan
Rinto dan Sinta sudah menjalin kasih selama 3 tahun lebih. Keduanya sudah bekerja. Orang menyaksikan bahwa mereka sungguh serius menjalin kasihnya. Mereka tampak gembira dan kompak dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menandai keseriusannya, keduanya sepakat bertunangan.
Memang tidak semua tempat mempunyai tradisi pertunangan, bahkan suatu perkawinan tidak mengharuskan adanya pertunangan terlebih dulu. Namun demikian, tradisi pertunangan juga bukan sesuatu yang tidak berguna. Pertunangan bisa dijadikan sebagai waktu untuk melatih penyangkalan diri yaitu agar masing-masing pribadi tidak mementingkan diri sendiri.
Cintanya bukan lagi hanya mengingini tetapi melayani. Masing-masing belajar meninggalkan sikap egois dan rahasia–rahasiaan sehingga sanggup saling mengenal secara lebih terbuka dan mendalam.
Pertunangan merupakan awal keduanya belajar lebih sungguh untuk menanggung bersama-sama, baik suka maupun duka. Kendati demikian, dengan pertunangan, keduanya tidak berarti sudah terikat resmi seperti dalam Perkawinan. Pertunangan adalah tahapan sebelum perkawinan. Keduanya harus tetap menjaga batas-batas relasi yang sewajarnya.
Simbolisasi yang paling kentara dalam pertunangan adalah cincin. Biasanya pengenaan cincin terhadap pasangan yang bertunangan dilakukan oleh pihak keluarga, bukan oleh mereka yang bertunangan. Mereka sudah saling menandai diri dalam relasi cinta, namun tetap ada batas-batasnya.
Dalam pertunangan belum ada janji kesepakatan perkawinan. Oleh karena itu, Gereja mengajarkan bahwa “upacara pertunangan tidak pernah boleh diadakan dalam atau digabungkan dengan Perayaan Ekaristi” (TPP no. 384). Maka pertunangan cukup diadakan dalam sebuah ibadat.
Dalam ibadat itu dimohonkan berkat Allah agar kebahagiaan yang dijanjikan dalam pertunangan akhirnya terpenuhi secara utuh dan sempurna saat pernikahannya kelak
Terima kasih Romo Budi….. Tulisannya sangat bermanfaat….