.
MISERICORDIAE VULTUS
(WAJAH KERAHIMAN)
FRANSISKUS, USKUP ROMA, HAMBA DARI PARA HAMBA ALLAH KEPADA SEMUA ORANG YANG MEMBACA SURAT INI
RAHMAT, KERAHIMAN, DAN KEDAMAIAN
#1. Yesus Kristus adalah wajah kerahiman Bapa. Kata-kata ini mungkin juga merangkum misteri iman Kristiani. Kerahiman telah menjadi hidup dan kasat mata dalam Yesus dari Nazaret, mencapai puncaknya dalam diri-Nya. Bapa, “kaya dengan kerahiman” (Ef 2: 4), setelah menyatakan nama-Nya kepada Musa sebagai “Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Kel 34:6), tidak pernah berhenti menunjukkan, dalam berbagai cara sepanjang sejarah, kodrat ilahi-Nya. Dalam “kegenapan waktu” (Gal 4:4), ketika segalanya telah diatur sesuai dengan rencana keselamatan-Nya, Ia mengutus Putra-Nya ke dalam dunia, yang lahir dari Perawan Maria, untuk menyatakan kasih-Nya bagi kita dalam sebuah cara yang definitif. cara Siapapun yang melihat Yesus melihat Bapa (Yoh 14: 9). Yesus dari Nazaret, dengan kata-kata-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan seluruh pribadi-Nya[1] menyatakan kerahiman Allah.
#2. Kita perlu terus-menerus merenungkan misteri kerahiman. Ia adalah sebuah sumber sukacita, ketenangan, dan kedamaian. Keselamatan kita tergantung padanya. Kerahiman : kata tersebut mengungkapkan sungguh-sungguh misteri Tritunggal Mahakudus. Kerahiman : tindakan utama dan tertinggi yang olehnya Allah datang untuk menemui kita. Kerahiman : hukum dasar yang berdiam di dalam hati setiap orang yang memandang dengan tulus ke dalam mata saudara dan saudarinya di jalan kehidupan. Kerahiman : jembatan yang menghubungkan Allah dan manusia, membuka hati kita kepada sebuah harapan dikasihi selamanya meskipun kedosaan kita.
#3. Kadang-kadang kita dipanggil untuk menatap dengan lebih penuh perhatian pada kerahiman sehingga kita dapat menjadi sebuah tanda yang lebih efektif dari tindakan Bapa dalam hidup kita. Karena alasan ini saya telah mencanangkan sebuah Yubileum Agung Kerahiman sebagai sebuah waktu khusus bagi Gereja; sebuah waktu ketika kesaksian umat beriman akan tumbuh lebih kuat dan lebih efektif.
Tahun Suci akan dibuka pada tanggal 8 Desember 2015, Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda. Hari raya liturgis ini mengingatkan tindakan Allah dari sangat awal sejarah umat manusia. Setelah dosa Adam dan Hawa, Allah tidak ingin meninggalkan manusia sendirian dalam pergolakan kejahatan. Maka Ia memalingkan pandangan-Nya kepada Maria, yang kudus dan tak bernoda dalam kasih (bdk. Ef 1:4), memilihnya untuk menjadi Bunda Sang Penebus manusia. Ketika dihadapkan dengan gentingnya dosa, Allah menanggapi dengan kepenuhan kerahiman. Kerahiman akan selalu lebih besar dari dosa apapun, dan tidak ada seorang pun yang dapat menempatkan batasan-batasan kasih Allah yang selalu siap untuk mengampuni. Saya akan bersukacita membuka Pintu Suci pada Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda. Pada hari itu, Pintu Suci akan menjadi sebuah pintu kerahiman yang melalui siapa pun yang masuk akan mengalami kasih Allah yang menghibur, mengampuni, dan menanamkan harapan.
Pada hari Minggu berikutnya, Hari Minggu Adven III, Pintu Suci Katedral Roma – yaitu, Basilika Santo Yohanes Lateran – akan dibuka. Dalam minggu-minggu berikutnya, Pintu-pintu Suci dari Basilika-basilika Kepausan lainnya akan dibuka. Pada hari Minggu yang sama, saya akan mengumumkan bahwa dalam setiap Gereja lokal, di katedral – gereja ibu dari umat di wilayah tertentu manapun – atau sebaliknya, pada yang setara katedral atau gereja lain bermakna khusus, sebuah Pintu Kerahiman akan dibuka selama Tahun Suci. Berdasarkan kebijaksanaan ordinaris setempat, sebuah pintu yang sama dapat dibuka di setiap tempat ziarah yang sering dikunjungi oleh kelompok-kelompok besar peziarah, karena kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat suci adalah saat-saat yang begitu sering dipenuhi rahmat, ketika orang-orang menemukan sebuah jalan kepada pertobatan. Setiap Gereja partikular, oleh karena itu, akan terlibat langsung dalam menghayati dengan lebih lama Tahun Suci ini sebagai sebuah saat yang luar biasa rahmat dan pembaruan rohani. Dengan demikian Yubileum akan dirayakan baik di Roma maupun di Gereja-gereja partikular sebagai sebuah tanda kasat mata dari persekutuan universal Gereja.
#4. Saya telah memilih tanggal 8 Desember karena maknanya yang kaya dalam sejarah Gereja belakangan ini. Bahkan, saya akan membuka Pintu Suci pada ulang tahun kelimapuluh penutupan Konsili Ekumenis Vatikan II. Gereja merasakan sebuah kebutuhan besar untuk menjaga peristiwa ini tetap hidup. Bersama Konsili tersebut, Gereja memasuki sebuah tahap baru sejarahnya. Para Bapa Konsili dengan sangat merasakan, sebagai sebuah nafas sejati dari Roh Kudus, sebuah kebutuhan untuk berbicara tentang Allah kepada pria dan wanita dari waktu mereka dengan sebuah cara yang lebih mudah diakses. Dinding-dinding yang terlalu panjang membuat Gereja semacam benteng yang dirobohkan dan waktunya telah tiba untuk memberitakan Injil dengan sebuah cara baru. Ia adalah sebuah tahap baru penginjilan yang sama yang telah ada sejak awal. Ia adalah sebuah usaha yang menyegarkan bagi semua orang Kristiani untuk menjadi saksi bagi iman mereka dengan antusiasme dan keyakinan yang lebih besar. Gereja merasakan sebuah tanggung jawab untuk menjadi sebuah tanda hidup dari kasih Bapa di dunia.
Kita ingat kata-kata pedih Santo Yohanes XXIII ketika, membuka Konsili, beliau menunjukkan jalan untuk diikuti: “Sekarang Mempelai Kristus ingin menggunakan obat kerahiman ketimbang mengangkat senjata kekejaman … Gereja Katolik, karena ia memegang tinggi obor kebenaran Katolik di Konsili Ekumenis ini, ingin menunjukkan dirinya seorang ibu yang penuh kasih bagi semua orang, sabar, baik, tergerak oleh belas kasihan dan kebaikan terhadap anak-anaknya yang terpisah”[2] Beato Paulus VI berbicara dalam nada yang sama pada penutupan Konsili : “Kami lebih memilih untuk menunjukkan bagaimana amal telah menjadi ciri religius utama Konsili ini … cerita lama tentang orang Samaria yang baik telah menjadi model spiritualitas Konsili … sebuah gelombang kasih sayang dan kekaguman mengalir dari Konsili atas dunia modern umat manusia. Kesalahan-kesalahan dikutuk, memang, karena amal menuntut ini tidak kurang daripada menuntut kebenaran, tapi bagi individu-individu mereka sendiri hanya ada teguran, rasa hormat dan kasih. Alih-alih menekankan diagnosis, mendorong pengobatan; alih-alih dugaan-dugaan yang mengerikan, pesan-pesan kepercayaan dikeluarkan dari Konsili kepada dunia masa kini. Nilai-nilai dunia modern tidak hanya dihormati tetapi dijunjung, upaya-upayanya disetujui, aspirasi-aspirasinya dimurnikan dan diberkati … Hal lain yang kita harus tekankan adalah ini : semua ajaran yang kaya ini disalurkan dalam satu arah, pelayanan umat manusia, pelayanan setiap keadaan, pelayanan dalam setiap kelemahan dan kebutuhan”.[3]
Dengan perasaan-perasaan syukur atas segalanya ini Gereja telah menerima, dan dengan sebuah rasa tanggung jawab atas tugas yang ada di depan, kita akan melewati ambang Pintu Suci dengan penuh keyakinan bahwa kekuatan Tuhan yang bangkit, yang terus-menerus mendukung kita pada jalan peziarahan kita, akan mendukung kita. Semoga Roh Kudus, yang membimbing langkah-langkah dari orang-orang percaya dalam bekerja sama dengan karya keselamatan yang diakibatkan oleh Kristus, membimbing jalan tersebut dan mendukung Umat Allah sehingga mereka dapat merenungkan wajah kerahiman.[4]
#5. Tahun Yubileum akan ditutup dengan Hari Raya liturgi Kristus Raja pada tanggal 20 November 2016. Pada hari itu, ketika kita menyegel Pintu Suci, kita akan dipenuhi, terutama, dengan rasa syukur dan terima kasih kepada Tritunggal Mahakudus karena telah menganugerahi kita masa rahmat yang luar biasa. Kita akan mempercayakan kehidupan Gereja, seluruh umat manusia, dan seluruh alam semesta kepada Ketuhanan Kristus, meminta-Nya untuk mencurahkan kerahiman-Nya atas kita seperti embun pagi, sehingga setiap orang dapat bekerja sama untuk membangun sebuah masa depan yang lebih cerah. Betapa banyak saya ingin agar tahun yang akan datang akan didalami dengan kerahiman, sehingga kita bisa pergi kepada setiap pria dan wanita, membawa kebaikan dan kelembutan Allah! Semoga minyak urapan kerahiman menjamah semua orang, baik orang percaya maupun orang-orang yang jauh, sebagai sebuah tanda bahwa Kerajaan Allah sudah hadir di tengah-tengah kita!
#6. “Tepatlah bagi Allah untuk menjalankan kerahiman, dan Ia mengejawantahkan kemahakuasaan-Nya terutama dengan cara ini”.[5] Kata-kata Santo Thomas Aquino menunjukkan bahwa kerahiman Allah, ketimbang sebuah tanda kelemahan, adalah tanda kemahakuasaan-Nya. Karena alasan ini liturgi, dalam salah satu kumpulannya yang paling kuno, mendapati kita berdoa: “Ya Allah, yang menyatakan kuasa-Mu terutama dalam kerahiman dan pengampunan-Mu …”[6] Sepanjang sejarah umat manusia, Allah akan selalu merupakan Dia yang hadir, dekat, ingat akan hari esok, suci, dan penuh kerahiman.
“Sabar dan penuh kerahiman”. Kata-kata ini sering berjalan bersama-sama dalam Perjanjian Lama untuk menggambarkan sifat Allah. Penuh kerahiman-Nya secara nyata ditunjukkan dalam banyak tindakan-Nya sepanjang sejarah keselamatan di mana kebaikan-Nya menang atas hukuman dan kehancuran. Dalam cara khusus Mazmur mengedepankan kemegahan tindakan-Nya yang penuh kerahiman : “Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat” (Mzm 103:3-4). Mazmur lain, dengan cara yang lebih eksplisit, membuktikan tanda-tanda nyata kerahiman-Nya : “Ia yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung, TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya” (Mzm 146:7-9). Berikut adalah beberapa ungkapan lain dari pemazmur: “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka; TUHAN menegakkan kembali orang-orang yang tertindas, tetapi merendahkan orang-orang fasik sampai ke bumi” (Mzm 147:3,6). Singkatnya, kerahiman Allah bukanlah sebuah gagasan tak berwujud, tetapi sebuah realitas nyata yang melaluinya Ia menyatakan kasih-Nya seperti yang dilakukan oleh seorang ayah atau seorang ibu, yang bergerak menuju kedalaman demi kasih bagi anak mereka. Tidaklah berlebihan dikatakan bahwa ini adalah sebuah kasih “mendalam”. Ia menyembur keluar dari kedalaman secara alami, penuh kelembutan dan kasih sayang, indulgensi dan kerahiman.
#7. “Karena kasih setia-Nya untuk selama-lamanya”. Ini adalah refren yang diulangi setelah setiap ayat dalam Mazmur 136 karena ia menceritakan sejarah pewahyuan Allah. Oleh keutamaan kerahiman, seluruh peristiwa Perjanjian Lama dilengkapi dengan pendatangan keselamatan yang mendalam. Kerahiman menjadikan sejarah Allah bersama Israel sebuah sejarah keselamatan. Mengulangi terus-menerus “karena kasih setia-Nya untuk selama-lamanya”, sebagaimana yang dilakukan pemazmur, tampak menerobos dimensi ruang dan waktu, memasukkan segala sesuatu ke dalam misteri kasih yang abadi. Hal ini seolah-olah mengatakan bahwa tidak hanya dalam sejarah, tetapi untuk seluruh keabadian manusia akan selalu berada di bawah tatapan Bapa yang penuh kerahiman. Bukan kebetulan bahwa orang-orang Israel ingin memasukkan mazmur ini – “Hallel Agung”, sebagaimana ia disebut – dalam hari-hari raya liturginya yang paling penting.
Sebelum Sengsara-Nya, Yesus berdoa dengan mazmur kerahiman ini. Matius membuktikan hal ini dalam Injilnya ketika ia mengatakan bahwa, “Sesudah menyanyikan nyanyian pujian” (26:30), Yesus dan murid-murid-Nya pergi ke Bukit Zaitun. Seraya Ia melembagakan Ekaristi sebagai peringatan abadi bagi diri-Nya dan pengorbanan Paskah-Nya, Ia secara simbolis menempatkan tindakan tertinggi pewahyuan ini dalam terang kerahiman-Nya. Dalam konteks kerahiman yang sama, Yesus masuk pada sengsara dan wafat-Nya, sadar akan misteri agung kasih yang akan Ia wujudkan di kayu salib . Mengetahui bahwa Yesus sendiri mendoakan mazmur ini menjadikannya bahkan lebih penting bagi kita sebagai orang-orang Kristiani, menantang kita untuk mengambil refren tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita dengan mendoakan kata-kata pujian ini : “karena kasih setia-Nya untuk selama-lamanya”.
#8. Dengan mata yang tertuju kepada Yesus dan tatapan-Nya yang penuh kerahiman, kita mengalami kasih Tritunggal Mahakudus. Perutusan Yesus yang diterima dari Bapa adalah perutusan pengungkapan misteri kasih ilahi dalam kepenuhannya. “Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8,16), Yohanes menegaskan untuk pertama dan satu-satunya dalam seluruh Kitab Suci. Kasih ini sekarang telah dibuat terlihat dan nyata dalam seluruh kehidupan Yesus. Pribadi-Nya hanyalah kasih, sebuah kasih yang diberikan secara cuma-cuma. Hubungan-hubungan yang Ia bentuk dengan orang-orang yang mendekati-Nya mengejawantahkan sesuatu yang nyata sepenuhnya unik dan tak dapat diulang. Tanda-tanda yang Ia kerjakan, terutama dalam menghadapi orang-orang berdosa, orang-orang miskin, kaum marjinal, orang-orang sakit, dan orang-orang menderita, semua dimaksudkan untuk mengajarkan kerahiman. Segala sesuatu di dalam diri-Nya berbicara tentang kerahiman. Tidak ada satupun dalam diri-Nya sama sekali tanpa belas kasihan.
Yesus, melihat kerumunan orang-orang yang mengikuti-Nya, menyadari bahwa mereka sudah lelah dan letih, tersesat dan tanpa panduan, dan Ia merasakan belas kasihan yang mendalam terhadap mereka (bdk. Mat 9:36). Atas dasar kasih yang penuh belas kasihan ini Ia menyembuhkan orang-orang sakit yang dibawa kepada-Nya (bdk. Mat 14:14), dan hanya dengan beberapa potong roti dan ikan Ia memuaskan kerumunan besar orang (bdk. Mat 15:37). Apa yang menggerakkan Yesus dalam semua situasi ini adalah tidak lain kerahiman, yang dengannya Ia membaca hati orang-orang yang dijumpai-Nya dan menanggapi kebutuhan terdalam mereka. Ketika Ia menjumpai janda dari Nain yang membawa anaknya untuk dimakamkan, Ia merasakan belas kasihan yang besar terhadap penderitaan besar dari ibu yang berduka ini, dan Ia memberi kembali anaknya dengan membangkitkannya dari antara orang mati (bdk. Luk 7:15). Setelah membebaskan orang kerasukan di desa Gerasa, Yesus mempercayakan dia dengan perutusan ini: “Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu dan bagaimana Ia telah mengasihani engkau!” (Mrk 5: 19). Panggilan Matius juga dihadirkan dalam konteks belas kasih. Melewati gerai pemungut cukai, Yesus menatap Matius. Ia adalah sebuah tampilan penuh kerahiman yang mengampuni dosa-dosa orang itu, seorang berdosa dan seorang pemungut cukai, dia yang dipilih Yesus – berlawanan dengan keragu-raguan dari para murid – untuk menjadi salah seorang dari Kelompok Dua Belas. Santo Bede Venerabilis, mengomentari perikop Injil ini, menulis bahwa Yesus memandang Matius dengan kasih yang penuh kerahiman dan memilihnya : miserando atque eligendo[7]. Ungkapan ini begitu mengesankan saya sehingga saya memilihnya untuk motto episkopal saya.
#9. Dalam perumpamaan-perumpamaan yang ditujukan untuk kerahiman, Yesus menyatakan sifat Allah seperti sifat seorang Bapa yang tidak pernah menyerah sampai ia telah mengampuni anaknya yang bersalah dan mengatasi penolakan dengan kasih sayang dan kerahiman. Kita mengenal perumpamaan-perumpamaan ini dengan baik, khususnya tiga perumpamaan : domba yang hilang, dirham yang hilang, dan ayah dengan dua anak laki-laki (bdk. Luk 15:1-32). Dalam perumpamaan-perumpamaan ini, Allah selalu disajikan sebagai penuh sukacita, terutama ketika Ia mengampuni. Dalam mereka kita menemukan inti dari Injil dan inti dari iman kita, karena kerahiman disajikan sebagai sebuah kekuatan yang mengatasi segala sesuatu, memenuhi hati dengan kasih dan membawa penghiburan melalui pengampunan.
Dari perumpamaan lain, kita menyisihkan suatu ajaran penting bagi kehidupan Kristiani kita. Dalam menjawab pertanyaan Petrus tentang berapa kali perlu mengampuni, Yesus berkata : “Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18:22). Ia kemudian melanjutkan menceritakan perumpamaan tentang “hamba yang kejam”, yang, dipanggil oleh tuannya untuk mengembalikan sejumlah besar, memohon kepadanya sambil berlutut untuk kerahiman. Tuannya membatalkan utangnya. Tetapi ia kemudian bertemu sesama hamba yang berutang kepadanya beberapa sen dan yang pada gilirannya memohon sambil berlutut untuk kerahiman, tetapi hamba pertama menolak permintaannya dan mencampakkannnya ke dalam penjara. Ketika sang tuan mendengar tentang hal itu, ia menjadi marah dan, memanggil pelayan pertama kembali kepadanya, mengatakan, “Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (Mat 18:33). Yesus menyimpulkan, “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mat 18:35).
Perumpamaan ini berisi ajaran yang mendalam bagi kita semua. Yesus menegaskan bahwa kerahiman bukan hanya suatu tindakan Bapa, ia menjadi sebuah kriteria untuk memastikan siapa anakanak-Nya yang sejati. Singkatnya, kita dipanggil untuk menunjukkan kerahiman karena kerahiman pertama-tama telah ditampilkan kepada kita. Mengampuni pelanggaran-pelanggaran menjadi ungkapan yang paling jelas dari kasih yang penuh kerahiman, dan bagi kita orang-orang Kristiani ia sangat penting yang daripadanya kita tidak bisa memaafkan diri kita sendiri. Kadang-kadang betapa sulit tampaknya mengampuni! Namun pengampunan adalah alat yang ditempatkan ke dalam tangan kita yang rapuh untuk mendapatkan ketenangan hati. Melepas amarah, murka, kekerasan, dan balas dendam adalah kondisi-kondisi yang diperlukan untuk hidup dengan penuh sukacita. Karena itu marilah kita mengindahkan nasihat Rasul Paulus : “Janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ef 4:26). Terutama, marilah kita mendengarkan kata-kata Yesus yang menjadikan kerahiman sebagai sebuah ideal kehidupan dan sebuah kriteria untuk kredibilitas iman kita : “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat 5:7) : sabda bahagia yang kepadanya seharusnya secara khusus kita cita-citakan di Tahun Suci ini.
Seperti yang kita lihat dalam Kitab Suci, kerahiman adalah sebuah kata kunci yang menunjukkan tindakan Allah terhadap kita. Ia tidak membatasi diri-Nya hanya untuk menegaskan kasih-Nya, namun membuatnya terlihat dan nyata. Kasih, terutama, jangan hanya sebuah keniskalaan. Pada dasarnya, ia menunjukkan sesuatu yang nyata : niat, sikap, dan perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Kerahiman Allah adalah perhatian-Nya yang penuh kasih kepada kita masing-masing. Ia merasa bertanggung jawab; yaitu, Ia menginginkan kesejahteraan kita dan Ia ingin melihat kita bahagia, penuh sukacita, dan penuh damai. Ini adalah jalan yang juga harus diarungi kasih yang penuh kerahiman dari orang-orang Kristiani. Sebagaimana Bapa mengasihi, demikian juga anak-anak-Nya. Sama seperti Ia penuh kerahiman, demikian juga kita dipanggil untuk penuh kerahiman satu sama lain.
#10. Kerahiman merupakan dasar dari kehidupan Gereja. Seluruh kegiatan pastoralnya harus terjebak dalam kelembutan yang dihadirkannya bagi orang-orang percaya; tidak ada dalam pewartaannya dan dalam kesaksiannya kepada dunia dapat kurang dalam kerahiman. Kredibilitas Gereja terlihat dalam bagaimana ia menunjukkan kasih yang penuh kerahiman dan berbelas kasihan. Gereja “memiliki sebuah keinginan tak berujung untuk menunjukkan kerahiman”.[8] Mungkin kita sudah lama lupa bagaimana menunjukkan dan menghayati jalan kerahiman. Godaan, di satu sisi, untuk berfokus secara eksklusif pada keadilan membuat kita lupa bahwa ini hanya langkah pertama, meskipun perlu dan sangat diperlukan. Tetapi Gereja perlu melampaui dan berjuang untuk tujuan yang lebih tinggi dan lebih penting. Di sisi lain, sedih untuk mengatakan, kita harus mengakui bahwa praktek kerahiman memudar dalam budaya yang lebih luas. Dalam beberapa kasus kata tersebut tampaknya telah keluar dari penggunaannya. Namun, tanpa sebuah kesaksian kerahiman, hidup menjadi sia-sia dan mandul, seolah-olah diasingkan di sebuah gurun yang tandus. Waktunya telah tiba bagi Gereja sekali lagi mengambil panggilan penuh sukacita kepada kerahiman. Ini adalah waktu untuk kembali ke dasar-dasar dan menanggung kelemahan dan perjuangan saudara dan saudari kita. Kerahiman adalah kekuatan yang membangunkan kita kembali kepada kehidupan baru dan menanamkan dalam diri kita keberanian untuk melihat ke masa depan dengan harapan.
#11. Jangan lupa ajaran besar yang ditawarkan oleh Santo Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya yang kedua, Dives in Misericordia, yang pada saat itu datang secara tiba-tiba, temanya menangkap banyak orang dengan kejutan. Ada dua perikop khusus yang kepadanya saya ingin tarik perhatian. Pertama, Santo Yohanes Paulus II menyoroti fakta bahwa kita sudah lupa tema kerahiman dalam lingkungan budaya hari ini : “Mentalitas masa kini, lebih mungkin dibandingkan mentalitas orang-orang di masa lalu, tampaknya bertentangan dengan Allah kerahiman, dan pada kenyataannya cenderung mengecualikan dari kehidupan dan menghilangkan dari hati manusia gagasan kerahiman. Kata dan konsep ‘kerahiman’ tampaknya menyebabkan kegelisahan dalam diri manusia, yang, berkat perkembangan besar ilmu pengetahuan dan teknologi, belum pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah, telah menjadi empunya bumi dan telah menaklukkan dan menguasainya (bdk. Kej 1:28). berkuasa atas bumi ini, kadang-kadang dipahami secara sepihak dan dangkal, tampak tidak memiliki ruang bagi kerahiman … Dan inilah mengapa, dalam situasi Gereja dan dunia saat ini, banyak individu dan kelompok dipandu oleh perasaan iman yang hidup sedang beralih, saya akan mengatakan hampir secara spontan, kepada kerahiman Allah”.[9]
Selain itu, Santo Yohanes Paulus II mendorong sebuah pewartaan yang lebih mendesak dan kesaksian bagi kerahiman di dunia masa kini : “Hal ini ditentukan oleh kasih kepada manusia, kepada semua yang bersifat manusiawi dan yang, menurut intuisi banyak orang sezaman kita, terancam oleh sebuah bahaya besar. Misteri Kristus … mewajibkan saya untuk mewartakan kerahiman ketika kasih Allah yang penuh kerahiman, terungkap dalam misteri Kristus yang sama. Ia juga mewajibkan saya untuk meminta bantuan kepada kerahiman itu dan meminta-minta kepadanya pada tahap sulit, kritis dari sejarah Gereja dan sejarah dunia”.[10] Ajaran ini lebih bersangkut-paut daripada sebelumnya dan layak untuk diambil kembali dalam Tahun Suci ini. Mari kita mendengarkan kata-katanya sekali lagi: “Gereja menghayati sebuah kehidupan yang otentik ketika ia mengakukan dan mewartakan kerahiman – sifat yang paling luar biasa dari Sang Pencipta dan Sang Penebus – dan ketika ia membawa orang-orang dekat dengan sumber kerahiman Sang Juruselamat, adalah sang wali dan sang pemberi”.[11]
#12. Gereja ditugaskan untuk mewartakan kerahiman Allah, detak jantung Injil, yang dengan caranya sendiri harus menembus hati dan pikiran setiap orang. Sang Mempelai Kristus harus mencontoh perilakunya menurut Putra Allah yang pergi keluar untuk semua orang tanpa kecuali. Pada hari ini, ketika Gereja dibebankan dengan tugas evangelisasi baru, tema kerahiman perlu diusulkan lagi dan lagi dengan kegairahan baru dan tindakan pastoral yang diperbaharui. Ini sangat penting bagi Gereja dan bagi kredibilitas pesannya yang ia sendiri hayati dan lakukan kesaksian bagi kerahiman. Cara bicaranya dan tindakannnya harus meneruskan kerahiman, sehingga menyentuh hati semua orang dan mengilhami mereka sekali lagi untuk menemukan jalan yang mengarah kepada Bapa.
Kebenaran pertama Gereja adalah kasih Kristus. Gereja menjadikan dirinya seorang hamba dari kasih ini dan mengantarainya kepada semua orang : sebuah kasih yang mengampuni dan mengungkapkan dirinya sendiri dalam karunia dirinya. Akibatnya, di mana pun Gereja hadir, kerahiman Bapa harus nyata. Di paroki-paroki, komunitas-komunitas, lembaga-lembaga dan gerakan-gerakan kita, dengan kata lain, di mana pun ada orang-orang Kristiani, setiap orang harus menemukan sebuah oase kerahiman.
#13. Kita ingin menjalani Tahun Yubileum ini dalam terang kata-kata Tuhan : Murah hatilah seperti Bapa. Penginjil yang mengingatkan kita akan ajaran Yesus yang mengatakan, “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36). Ia adalah sebuah program kehidupan yang menghendaki kaya dengan sukacita dan damai sejahtera. Perintah Yesus ditujukan kepada siapa pun yang bersedia untuk mendengarkan suara-Nya (bdk. Luk 6:27). Agar mampu bermurah hati, oleh karena itu, kita pertama-tama harus mengesampingkan diri kita untuk mendengarkan Sabda Allah. Ini berarti menemukan kembali nilai keheningan dengan tujuan untuk merenungkan Sang Sabda yang datang kepada kita. Dengan cara ini, maka akan menjadi mungkin untuk merenungkan kerahiman Allah dan mengadopsinya sebagai gaya hidup kita.
#14. Praktek peziarahan memiliki sebuah tempat khusus dalam Tahun Kudus, karena ia merupakan perjalanan kita masing-masing yang dibuat dalam kehidupan ini. Kehidupan itu sendiri adalah sebuah peziarahan, dan manusia adalah seorang “viator”, seorang peziarah yang bepergian di sepanjang jalan, membuat jalannya menuju tujuan yang dikehendaki. Demikian pula, untuk mencapai Pintu Suci di Roma atau di tempat manapun di dunia, semua orang, masing-masing sesuai dengan kemampuannya, akan harus membuat sebuah peziarahan. Ini akan menjadi sebuah tanda bahwa kerahiman juga merupakan sebuah tujuan untuk diraih dan membutuhkan dedikasi dan pengorbanan. Semoga peziarahan menjadi sebuah dorongan untuk pertobatan : dengan melintasi ambang Pintu Suci, kita akan menemukan kekuatan untuk merangkul kerahiman Allah dan mendedikasikan diri kita untuk menjadi penuh kerahiman dengan orang lain sebagaimana telah dilakukan Bapa bersama kita.
Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita langkah-langkah peziarahan untuk mencapai tujuan kita : “Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Luk 6:37-38) Tuhan meminta kita terutama tidak menghakimi dan tidak menghukum. Jika ada orang yang ingin menghindari penghakiman Allah, ia seharusnya tidak membuat dirinya hakim atas saudara atau saudarinya. Manusia, setiap kali mereka menghakimi, melihat tidak lebih jauh dari permukaan, sedangkan Bapa melihat ke dalam kedalaman jiwa. Berapa banyak kata-kata membahayakan dilakukan ketika mereka termotivasi oleh rasa cemburu dan iri hati! Menjelekkan orang lain menempatkan mereka dalam sebuah terang yang buruk, merusak reputasi mereka dan menjadikan mereka mangsa keinginan bergosip. Menghindari penghakiman dan penghukuman berarti, dalam arti positif, mengetahui bagaimana menerima kebaikan dalam setiap orang dan menghindarkan dia dari setiap penderitaan yang mungkin disebabkan oleh penilaian sepotong-sepotong dan anggapan kita tahu segalanya tentang dia. Tetapi ini masih belum cukup untuk mengungkapkan kerahiman. Yesus meminta kita juga mengampuni dan memberi. Menjadi alat kerahiman karena kitalah yang pertama kali menerima kerahiman dari Allah. Bermurah hati dengan orang lain, mengetahui bahwa Allah menghujani kebaikan-Nya atas kita dengan kemurahan hati yang besar.
Penuh kerahiman seperti Bapa, oleh karena itu, adalah “motto” Tahun Suci ini. Dalam kerahiman, kita menemukan bukti bagaimana Allah mengasihi kita. Ia memberikan seluruh diri-Nya, selalu, dengan bebas, tanpa mengharapkan imbalan. Ia datang untuk menolong kita setiap kali kita memanggil-Nya. Betapa indahnya Gereja mengawali doa hariannya dengan kata-kata, “Ya Allah, bersegeralah melepaskan aku, menolong aku, ya TUHAN!” (Mzm 70:2)! Pertolongan yang kita minta sudah merupakan langkah pertama dari kerahiman Allah bagi kita. Ia datang untuk menolong kita dalam kelemahan kita. Dan pertolongan-Nya berupa menolong kita menerima kehadiran dan kedekatan-Nya pada kita. Hari demi hari, tersentuh oleh kasih sayang-Nya, kita juga bisa menjadi welas asih terhadap orang lain.
#15. Dalam Tahun Suci ini, kita mengharapkan pengalaman membuka hati kita untuk mereka yang tinggal di pinggiran terluar masyarakat : pinggiran masyarakat modern itu sendiri menciptakan. Berapa banyak situasi yang tidak pasti dan menyakitkan ada di dunia saat ini! Berapa banyak luka-luka yang ditanggung oleh tubuh mereka yang tidak memiliki suara karena jeritan mereka teredam dan tenggelam oleh ketidakpedulian orang kaya! Selama Yubileum ini, Gereja bahkan akan lebih dipanggil untuk menyembuhkan luka-luka tersebut, untuk meredakan mereka dengan minyak penghiburan, untuk membebat mereka dengan kerahiman dan menyembuhkan mereka dengan kesetiakawanan dan kepedulian yang perawatan yang seksama. Janganlah kita jatuh ke dalam ketidakpedulian yang memalukan atau rutinitas yang monoton yang mencegah kita untuk menemukan apa yang baru! Mari kita menangkal sinisme yang merusak! Marilah kita membuka mata kita dan melihat penderitaan dunia, luka-luka saudara dan saudari kita yang diingkari martabat mereka, dan marilah kita menyadari bahwa kita didorong untuk mengindahkan jeritan mereka dengan pertolongan! Semoga kita menjangkau mereka dan mendukung mereka sehingga mereka dapat merasakan kehangatan kehadiran kita, persahabatan kita, dan persaudaraan kita! Semoga jeritan mereka menjadi jeritan kita, dan bersama-sama semoga kita mendobrak hambatan-hambatan ketidakpedulian yang terlalu sering paling menguasai dan topeng kemunafikan dan egoisme kita!
Itulah keinginan membara saya agar, selama Yubileum ini, orang-orang Kristiani dapat merenungkan karya jasmani maupun rohani dari kerahiman. Ini akan menjadi cara untuk membangunkan kembali hati nurani Anda, yang terlalu sering tumbuh membosankan dalam rupa kemiskinan. Dan marilah kita masuk lebih dalam ke jantung Injil di mana orang miskin memiliki sebuah pengalaman khusus akan kerahiman Allah. Yesus memperkenalkan kita kepada karya-karya kerahiman dalam khotbah-Nya sehingga kita bisa mengetahui apakah kita hidup sebagai murid-murid-Nya atau tidak. Marilah kita menemukan kembali karya-karya jasmani kerahiman : memberi makan orang yang lapar, memberi minum kepada orang yang haus, memberi pakaian orang yang telanjang, menyambut orang asing, menyembuhkan orang sakit, mengunjungi orang yang dipenjara, dan menguburkan orang mati. Dan janganlah kita melupakan karya rohani kerahiman : menasehati orang yang bimbang, mengajari orang bebal, menegur orang-orang berdosa, menghibur orang yang menderita, mengampuni kesalahan, menanggung dengan sabar mereka yang berbuat jahat kepada kita, dan mendoakan orang yang hidup dan yang mati.
Kita tidak bisa meluputkan kata-kata Tuhan kepada kita, dan mereka akan menjadi kriteria yang atasnya kita akan dihakimi : apakah kita telah memberi makan orang yang lapar dan memberikan minum kepada orang yang haus, menyambut orang asing dan memberi pakaian kepada orang yang telanjang, atau menghabiskan waktu dengan orang sakit dan orang-orang dalam penjara (bdk. Mat 25:31-45). Selain itu, kita akan ditanya apakah kita telah membantu orang lain untuk meluputkan keraguan yang menyebabkan mereka jatuh ke dalam keputusasaan dan yang sering menjadi sebuah sumber kesepian; apakah kita telah membantu untuk mengatasi kebodohan yang di dalamnya jutaan orang hidup, terutama anak-anak yang kehilangan sarana yang diperlukan untuk membebaskan mereka dari ikatan kemiskinan; apakah kita telah dekat dengan orang yang kesepian dan menderita; apakah kita telah mengampuni orang-orang yang telah menyakiti kita dan telah menolak segala bentuk kemarahan dan kebencian yang mengarah pada kekerasan; apakah kita telah memiliki semacam kesabaran yang ditunjukkan Allah, yang begitu sabar dengan kita; dan apakah kita telah mempercayakan saudara dan saudari kita kepada Tuhan dalam doa. Dalam masing-masing “anak-anak kecil” ini, Kristus sendiri hadir. Tubuh-Nya akan terlihat dalam tubuh orang yang disiksa, orang yang remuk redam, orang yang didera, orang yang kekurangan gizi, dan orang yang terasing … yang diakui, dijamah, dan dirawat oleh kita. Marilah kita tidak melupakan kata-kata Santo Yohanes dari Salib : “ketika kita bersiap-siap meninggalkan kehidupan ini, kita akan dihakimi atas dasar kasih”.[12]
#16. Dalam Injil Lukas, kita menemukan unsur penting lain yang akan membantu kita menghayati Yubileum dengan iman. Lukas menulis bahwa Yesus, pada hari Sabat, kembali ke Nazaret dan, menurut kebiasaan-Nya, masuk ke rumah ibadat. Mereka memanggil-Nya untuk membaca Kitab Suci dan membahasnya. Perikop ini adalah dari Kitab Yesaya di mana ada tertulis : “Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN” (Yes 61:1-2). Sebuah ” tahun rahmat Tuhan” atau “kerahiman” : ini adalah apa yang diwartakan Tuhan dan ini adalah apa yang ingin kita hayati sekarang. Tahun Suci ini akan membawa ke depan kekayaan perutusan Yesus yang bergema dalam kata-kata nabi : membawa sebuah kata dan sikap penghiburan kepada orang miskin, memberitakan kebebasan kepada mereka terikat oleh bentuk-bentuk baru perbudakan dalam masyarakat modern, memulihkan penglihatan bagi mereka yang tidak bisa melihat lagi karena mereka terjebak dalam diri mereka sendiri, mengembalikan martabat bagi semua orang, yang daripadanya telah dirampok. Pewartaan Yesus dibuat terlihat lagi dalam tanggapan iman. Orang-orang Kristiani dipanggil untuk menawarkan kesaksian mereka. Semoga kata-kata Rasul Paulus menyertai kita. Barangsiapa yang melakukan tindakan kerahiman, biarkan dia melakukannya dengan keceriaan (bdk. Rm 12:8).
#17. Masa Prapaskah selama Tahun Yubileum ini juga seharusnya dihayati dengan lebih intens sebagai momen istimewa untuk merayakan dan mengalami kerahiman Allah. Berapa banyak halaman Kitab Suci sesuai untuk bermeditasi selama minggu-minggu Prapaskah membantu kita menemukan kembali wajah Bapa yang penuh kerahiman! Kita dapat mengulangi kata-kata nabi Mikha dan menjadikan kata-kata itu milik kita : Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut (bdk. 7:18-19).
Halaman-halaman dari nabi Yesaya juga dapat direnungkan secara nyata selama masa doa, puasa, dan karya amal ini : “Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan” (58:6-11).
Prakarsa “24 Jam bagi Tuhan”, yang akan dirayakan pada hari Jumat dan Sabtu sebelum Minggu Prapaskah IV, harus dilaksanakan di setiap keuskupan. Begitu banyak orang, termasuk kaum muda, sedang kembali kepada Sakramen Rekonsiliasi; melalui pengalaman ini mereka sedang menemukan kembali sebuah jalan pulang kepada Tuhan, menghayati sebuah saat doa yang intens dan menemukan makna dalam kehidupan mereka. Marilah sekali lagi kita menempatkan Sakramen Rekonsiliasi di pusat sebuah jalan sedemikian rupa yang akan memungkinkan orang-orang untuk menyentuh kemegahan kerahiman Allah dengan tangan mereka sendiri. Bagi setiap peniten, itu akan menjadi sebuah sumber kedamaian batin yang sejati.
Saya tidak akan pernah bosan mendesak agar para bapa pengakuan menjadi tanda-tanda otentik kerahiman Bapa. Kita tidak menjadi bapa pengakuan yang baik secara otomatis. Kita menjadi bapa pengakuan yang baik ketika, terutama, kita membiarkan diri kita menjadi peniten dalam pencarian kerahiman-Nya. Marilah kita tidak pernah lupa bahwa menjadi bapa pengakuan berarti ikut serta dalam perutusan Yesus untuk menjadi sebuah tanda nyata dari keteguhan kasih ilahi yang mengampuni dan menyelamatkan. Kita para imam telah menerima karunia Roh Kudus untuk pengampunan dosa, dan kita bertanggung jawab untuk hal ini. Tak satu pun dari kita memegang kekuasaan atas Sakramen ini; sebaliknya, kita adalah hamba-hamba yang setia dari kerahiman Allah melaluinya. Setiap bapa pengakuan harus menerima umat seperti sang bapa dalam perumpamaan tentang anak yang hilang: seorang bapa yang lari keluar untuk bertemu anaknya meskipun faktanya ia telah menyia-nyiakan warisannya. Para bapa pengakuan dipanggil untuk merangkul anak yang bertobat yang datang kembali ke rumah dan mengungkapkan sukacita memiliki dia kembali pulang. Marilah kita tidak pernah bosan juga pergi keluar kepada anak lainnya yang berdiri di luar, yang tidak mampu sukacita, untuk menjelaskan kepadanya bahwa penghakiman-Nya kejam dan tidak adil serta tidak berarti dalam terang kerahiman bapa yang tak terbatas. Semoga para bapa pengakuan tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berguna, tetapi seperti sang bapa dalam perumpamaan itu, menyela penjelasan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh sang anak yang hilang, sehingga para bapa pengakuan akan belajar menerima permohonan untuk bantuan dan kerahiman yang memancar dari hati setiap peniten. Singkatnya, para bapa pengakuan dipanggil untuk menjadi sebuah tanda keutamaan kerahiman selalu, di mana-mana, dan dalam setiap situasi, tidak peduli apapun juga.
#18. Selama Masa Prapaskah Tahun Suci ini, saya berniat mengirimkan Para Misionaris Kerahiman. Mereka akan menjadi sebuah tanda perhatian keibuan Gereja bagi Umat Allah, yang memungkinkan mereka memasuki kekayaan yang mendalam dari misteri yang begitu mendasar bagi iman ini. Akan ada para imam yang kepadanya saya akan memberikan wewenang untuk mengampuni dosa-dosa bahkan yang disediakan untuk Takhta Suci, sehingga luasnya mandat mereka sebagai para bapa pengakuan bahkan akan menjadi lebih jelas. Mereka akan menjadi, terutama, tanda-tanda hidup kesiapan Bapa untuk menyambut mereka yang mencari pengampunan-Nya. Mereka akan menjadi para misionaris kerahiman karena mereka akan menjadi para fasilitator sebuah perjumpaan manusia yang sesungguhnya, sebuah sumber pembebasan, kaya dengan tanggung jawab untuk mengatasi rintangan-rintangan dan kembali mengambil kehidupan baru Baptisan. Mereka akan dituntun dalam perutusan mereka dengan kata-kata Rasul Paulus : “Sebab Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua” (Rm 11:32). Setiap orang, pada kenyataannya, tanpa kecuali, dipanggil untuk merangkul panggilan kepada kerahiman. Semoga para Misionaris ini menghayati panggilan ini dengan jaminan bahwa mereka dapat mengarahkan mata mereka pada Yesus, “Imam Besar yang penuh belas kasihan dan setia dalam pelayanan Allah” (Ibr 2:17).
Saya meminta saudara saya para uskup untuk mengundang dan menyambut para Misionaris ini sehingga mereka dapat menjadi, terutama, para pewarta kerahiman yang meyakinkan. Semoga masing-masing keuskupan mengatur “perutusan-perutusan kepada umat” sedemikian rupa sehingga para misionaris ini dapat menjadi para pembawa sukacita dan pengampunan. Para uskup diminta untuk merayakan Sakramen Rekonsiliasi dengan umat mereka sehingga waktu kerahiman yang ditawarkan oleh Tahun Yubileum akan menjadikannya mungkin bagi banyak putra dan putri Allah untuk mengambil kembali perjalanan ke rumah Bapa. Semoga para gembala, terutama selama masa liturgi Prapaskah, rajin memanggil kembali umat “menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia” (Ibr 4:16).
#19. Semoga pesan kerahiman menjangkau semua orang, dan semoga tidak ada yang tidak mempedulikan panggilan untuk mengalami kerahiman. Saya menujukan undangan ini untuk pertobatan lebih sungguh-sungguh kepada mereka yang perilakunya menjauhkan mereka dari rahmat Allah. Saya secara khusus memiliki dalam pikiran para pria dan wanita yang menjadi milik organisasi-organisasi kriminal apapun. Untuk kebaikan mereka sendiri, saya meminta mereka untuk mengubah kehidupan mereka. Saya meminta mereka hal ini dalam nama Putra Allah yang, meskipun menolak dosa, tidak pernah menolak orang berdosa. Jangan jatuh ke dalam perangkap berpikir yang mengerikan bahwa kehidupan tergantung pada uang dan bahwa, dibandingkan dengan uang, hal apapun tidak bernilai atau bermartabat. Ini tidak lain hanyalah sebuah khayalan! Kita tidak bisa membawa uang bersama kita ke dalam kehidupan alam baka. Uang tidak membawakan kita kebahagiaan. Kekerasan yang ditimbulkan demi mengumpulkan kekayaan yang direndam dalam darah membuat orang tidak berdaya maupun tidak abadi. Setiap orang, cepat atau lambat, akan dikenakan hukuman Allah, yang daripadanya tidak ada yang bisa melarikan diri.
Undangan yang sama diperpanjang kepada mereka yang melanggengkan maupun ikut serta dalam korupsi. Luka bernanah ini adalah sebuah dosa berat yang berteriak ke surga untuk balas dendam, karena ia mengancam dasar-dasar kehidupan pribadi dan sosial. Korupsi mencegah kita dari melihat ke masa depan dengan harapan, karena keserakahan tiraninya yang menghancurkan rencana orang lemah dan menginjak-injak orang yang paling miskin dari orang miskin. Ia adalah sebuah kejahatan yang melekatkan dirinya sendiri ke dalam tindakan kehidupan sehari-hari dan menyebar, menyebabkan skandal publik yang besar. Korupsi adalah sebuah pengerasan hati yang penuh dosa yang menggantikan Allah dengan khayalan bahwa uang adalah sebuah bentuk kekuasaan. Ia adalah sebuah karya kegelapan, yang diberi makan oleh prasangka dan intrik. Corruptio optimi pessima, Santo Gregorius Agung mengatakan dengan alasan yang baik, menegaskan bahwa tidak ada yang bisa menganggap dirinya kebal dari godaan ini. Jika kita ingin mengendalikannya keluar dari kehidupan pribadi dan sosial, kita perlu kehati-hatian, kewaspadaan, loyalitas, transparansi, bersama-sama dengan keberanian untuk mengecam laku kesalahan apapun. Jika ia tidak diperangi secara terbuka, cepat atau lambat semua orang akan menjadi kaki tangannya, dan ia akan berakhir menghancurkan keberadaan kita.
Ini adalah saat yang tepat untuk mengubah kehidupan kita! Ini adalah waktu untuk memungkinkan hati kita untuk dijamah! Ketika dihadapkan dengan perbuatan-perbuatan jahat, bahkan dalam rupa kejahatan-kejahatan serius, ia adalah waktu untuk mendengarkan jeritan orang-orang yang tidak bersalah yang dirampas harta mereka, martabat mereka, perasaan mereka, dan bahkan kehidupan mereka. Melekat kepada jalan kejahatan hanya akan membiarkan orang terperdaya dan bersedih. Kehidupan sejati adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Allah tidak pernah lelah menjangkau kita. Ia selalu siap mendengarkan, sama seperti saya juga, bersama dengan saudara saya para uskup dan para imam. Yang perlu dilakukan semua orang adalah menerima undangan untuk pertobatan dan menyerahkan dirinya kepada keadilan selama waktu khusus kerahiman yang ditawarkan oleh Gereja ini.
#20. Pada titik ini tidak akan keluar tempat untuk mengingat hubungan antara keadilan dan kerahiman. Ini bukan dua kenyataan yang saling bertentangan, tetapi dua dimensi dari sebuah kenyataan tunggal yang terbentang secara bertahap sampai ia memuncak dalam kepenuhan cinta. Keadilan adalah sebuah konsep dasar bagi masyarakat sipil, yang dimaksudkan untuk diatur oleh aturan hukum. Keadilan juga dipahami sebagai sesuatu yang benar berkat setiap individu. Dalam Alkitab, ada banyak acuan untuk keadilan ilahi dan untuk Allah sebagai “hakim”. Dalam ayat-ayat ini, keadilan dipahami sebagai ketaatan penuh terhadap Hukum dan perilaku setiap orang Israel yang baik dalam kesesuaian dengan perintah-perintah Allah. Visi seperti itu, namun, tidak jarang menyebabkan legalisme dengan membelokkan makna asli keadilan dan mengaburkan nilainya yang mendalam. Untuk mengatasi perspektif legalistik ini, kita perlu mengingat bahwa dalam Kitab Suci, keadilan dipahami pada dasarnya sebagai pelepasan diri umat kepada kehendak Allah.
Sementara itu, Yesus berbicara beberapa kali tentang pentingnya iman atas dan di atas ketaatan hukum. Dalam pengertian inilah kita harus memahami kata-kata-Nya ketika bersandar di meja dengan Matius serta para pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya, Ia berkata kepada orang-orang Farisi yang mengajukan keberatan kepada-Nya, “Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mat 9:13). Berhadapan dengan visi keadilan sebagai ketaatan hukum belaka yang menghakimi orang hanya dengan membagi mereka menjadi dua kelompok – orang-orang benar dan orang-orang berdosa – Yesus bertekad untuk mengungkapkan karunia besar kerahiman yang mencari keluar orang-orang berdosa dan menawarkan mereka pengampunan dan keselamatan. Orang dapat melihat mengapa, atas dasar visi kerahiman yang membebaskan seperti itu sebagai sebuah sumber kehidupan baru, Yesus ditolak oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat lainnya. Dalam upaya untuk tetap setia kepada hukum, mereka hanya menempatkan beban di pundak orang lain dan merusak kerahiman Bapa. Seruan untuk menaati hukum tidak harus mencegah perhatian dari yang diberikan kepada hal-hal yang menyentuh martabat manusia.
Seruan Yesus membuat teks dari kitab nabi Hosea – “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan” (6:6) – penting dalam hal ini. Yesus menegaskan bahwa, sejak saat itu dan seterusnya, aturan hidup dari para murid-Nya harus menempatkan kerahiman di pusat, seperti ditunjukkan Yesus sendiri dengan berbagi makanan bersama orang-orang berdosa. Kerahiman, sekali lagi, terungkap sebagai aspek dasariah perutusan Yesus. Ini benar-benar menantang para pendengar-Nya, yang akan menarik garis pada rasa hormat formal terhadap hukum. Yesus, di sisi lain, melampaui hukum, persekutuan yang Ia jaga dengan orang-orang yang dianggap hukum orang-orang berdosa membuat kita menyadari kedalaman kerahiman-Nya.
Rasul Paulus membuat sebuah perjalanan serupa. Sebelum bertemu Yesus di jalan menuju Damsyik, ia mendedikasikan hidupnya untuk mengejar keadilan hukum dengan semangat (bdk. Flp 3:6). Pertobatannya kepada Kristus menuntunnya untuk mengubah visi yang terbalik itu, ke titik yang akan ia tulis kepada orang-orang Galatia: “Kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: “tidak ada seorang pun yang dibenarkan” oleh karena melakukan hukum Taurat” (2:16).
Pemahaman Paulus akan keadilan berubah secara radikal. Dia sekarang menempatkan iman pertama-tama, bukan keadilan. Keselamatan datang bukan melalui ketaatan hukum, tetapi melalui iman di dalam Yesus Kristus, yang dalam kematian dan kebangkitan-Nya membawa keselamatan bersama-sama dengan sebuah kerahiman yang membenarkan. Keadilan Allah sekarang menjadi kekuatan yang membebaskan bagi mereka yang tertindas oleh perbudakan dosa dan konsekuensinya. Keadilan Allah adalah kerahiman-Nya (bdk. Mzm 51: 11-16).
#21. Kerahiman tidak menentang keadilan melainkan mengungkapkan cara Allah untuk menjangkau orang berdosa, menawarkan kepadanya sebuah kesempatan baru untuk melihat diri-Nya, bertobat, dan percaya. Pengalaman nabi Hosea dapat membantu kita melihat cara yang di dalamnya kerahiman melampaui keadilan. Zaman yang di dalamnya Nabi hidup adalah salah satu yang paling dramatis dalam sejarah orang-orang Yahudi. Kerajaan sedang terhuyung-huyung di tepi kehancuran; umat tidak tetap setia terhadap perjanjian; mereka telah lari dari Allah dan kehilangan iman nenek moyang mereka. Menurut logika manusia, tampak masuk akal bagi Allah untuk memikirkan menolak umat yang tidak setia; mereka tidak menaati perjanjian mereka dengan Allah dan karena itu yang pantas hanya hukuman: dengan kata lain, pengasingan. Kata-kata nabi membuktikan hal ini: “Mereka harus kembali ke tanah Mesir, dan Asyur akan menjadi raja mereka, sebab mereka menolak untuk bertobat” (Hos 11:5). Namun, setelah permohonan keadilan ini, nabi secara radikal mengubah pidatonya dan mengungkapkan wajah Allah yang sesungguhnya : “Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan engkau seperti Adma, membuat engkau seperti Zeboim? Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan” (11:8-9). Santo Agustinus, hampir-hampir seolah-olah ia sedang mengomentari kata-kata nabi ini, mengatakan: “Lebih mudah bagi Allah untuk menahan amarah daripada kerahiman”.[13] Dan sehingga murka Allah berlangsung hanya sekejap mata, tetapi kerahiman-Nya selama-lamanya.
Jika Allah membatasi diri-Nya hanya kepada keadilan, Ia akan berhenti menjadi Allah, dan sebaliknya akan menjadi seperti manusia yang meminta hanya hukum yang harus dihormati. Tetapi keadilan belaka tidak cukup. Pengalaman menunjukkan bahwa sebuah seruan untuk keadilan saja akan mengakibatkan kehancurannya. Inilah sebabnya mengapa Allah melampaui keadilan dengan kerahiman dan pengampunan-Nya. Namun ini tidak berarti bahwa keadilan harus direndahkan atau dijadikan berlebihan. Sebaliknya: siapapun yang melakukan sebuah kesalahan harus membayar harganya. Namun, ini hanya awal pertobatan, bukan akhir, karena orang mulai merasakan kelembutan dan kerahiman Allah. Allah tidak menolak keadilan. Ia malahan menyelubunginya dan melampauinya dengan sebuah peristiwa yang lebih besar yang di dalamnya kita mengalami kasih sebagai dasar keadilan sejati. Kita harus memperhatikan apa yang dikatakan Santo Paulus jika kita ingin menghindari membuat kesalahan yang sama yang karenanya ia mencela orang-orang Yahudi pada zamannya : Sebab, “oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah. Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya” (Rm 10:3-4). Keadilan Allah adalah kerahiman-Nya yang diberikan kepada semua orang sebagai rahmat yang mengalir dari kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Dengan demikian Salib Kristus adalah penghakiman Allah atas kita semua dan atas seluruh dunia, karena melaluinya Ia menawarkan kita kepastian kasih dan kehidupan baru.
#22. Sebuah Yubileum juga memerlukan pemberian indulgensi. Praktek ini akan memperoleh arti lebih penting dalam Tahun Suci Kerahiman. Pengampunan Allah tidak mengenal batas. Dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, Allah membuat bahkan lebih jelas kasih-Nya dan kekuatannya menghancurkan semua dosa manusia. Rekonsiliasi dengan Allah dimungkinkan melalui misteri Paskah dan pengantaraan Gereja. Dengan demikian Allah selalu siap untuk mengampuni, dan Ia tidak pernah lelah mengampuni dengan cara yang terus-menerus baru dan mengejutkan. Namun demikian, kita semua mengenal dengan baik pengalaman dosa. Kita tahu bahwa kita dipanggil kepada kesempurnaan (bdk. Mat 5:48), namun kita merasakan beban berat dari dosa. Meskipun kita merasakan kekuatan rahmat perubahan, kita juga merasakan pengaruh-pengaruh dosa khas keadaan kejatuhan kita. Meskipun diampuni, konsekuensi yang bertentangan dari dosa-dosa kita tetap ada. Dalam Sakramen Rekonsiliasi, Allah mengampuni dosa-dosa kita, yang mana Ia benar-benar menghapus dosa; namun dosa meninggalkan pengaruh buruk pada cara kita berpikir dan bertindak. Namun kerahiman Allah lebih kuat daripada hal ini. Ia menjadi indulgensi di pihak Bapa yang, melalui Sang Mempelai Kristus, Gereja-Nya, menjangkau orang berdosa yang diampuni dan membebaskan dia dari setiap sisa yang ditinggalkan oleh konsekuensi dosa, yang memungkinkan dia untuk bertindak dengan amal, bertumbuh dalam kasih daripada jatuh kembali ke dalam dosa.
Gereja hidup di dalam persekutuan para kudus. Dalam Ekaristi, persekutuan ini, yang merupakan sebuah karunia dari Allah, menjadi sebuah kesatuan rohani yang mengikat kita kepada para santo/santa dan beato/beata yang jumlahnya sulit dihitung (bdk. Why 7:4). Kekudusan mereka datang untuk membantu kelemahan kita dengan cara yang memungkinkan Gereja, dengan doa-doa keibuannya dan cara hidupnya, membentengi kelemahan dari beberapa orang dengan kekuatan orang lain. Oleh karena itu, menghidupi indulgensi dari Tahun Kudus berarti menjangkau kerahiman Bapa dengan kepastian bahwa pengampunan-Nya meluas ke seluruh kehidupan orang percaya. Mendapatkan sebuah indulgensi adalah mengalami kekudusan Gereja, yang melimpahkan atas semua orang buah-buah penebusan Kristus, sehingga kasih dan pengampunan Allah dapat diperpanjang di mana-mana. Marilah kita menghidupi Yubileum ini dengan intens, memohon Bapa untuk mengampuni dosa-dosa kita dan untuk memandikan kita dalam “indulgensi”-Nya yang penuh kerahiman.
#23. Ada aspek kerahiman yang melampaui batas-batas Gereja. Ia mengaitkan kita kepada Yudaisme dan Islam, keduanya menganggap kerahiman adalah salah satu sifat Allah yang paling penting. Israel adalah yang pertama menerima pewahyuan ini yang berlanjut dalam sejarah sebagai sumber dari sebuah kekayaan yang tak habis-habisnya yang dimaksudkan untuk dibagikan dengan seluruh umat manusia. Sebagaimana telah kita lihat, halaman-halaman Perjanjian Lama tenggelam dalam kerahiman, karena mereka menceritakan karya-karya yang ditunjukkan Tuhan dalam mendukung umat-Nya di saat-saat yang paling sulit dari sejarah mereka. Di antara nama-nama istimewa yang dikenakan Islam kepada Sang Pencipta adalah “Penuh Kerahiman dan Baik”. Permohonan ini sering berada di bibir umat Muslim yang merasakan diri mereka didampingi dan ditopang oleh kerahiman dalam kelemahan mereka sehari-hari. Mereka juga percaya bahwa tidak ada yang dapat menempatkan sebuah batasan pada kerahiman ilahi karena pintunya selalu terbuka.
Saya percaya bahwa tahun Yubileum merayakan kerahiman Allah ini akan menumbuhkan sebuah perjumpaan dengan agama-agama ini dan dengan tradisi-tradisi agama mulia lainnya; semoga ia membuka kita untuk lebih kuat berdialog sehingga kita bisa saling mengenal dan memahami dengan lebih baik; semoga ia menghilangkan segala bentuk ketertutupan pikiran dan ketidakhormatan, dan mengusir setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi.
#24. Pikiran saya sekarang beralih kepada Bunda Kerahiman. Semoga kemanisan roman mukanya mengawasi kita di Tahun Suci ini, sehingga kita semua dapat menemukan kembali sukacita kelembutan Allah. Tidak ada yang telah menembus misteri mendalam dari Penjelmaan seperti Maria. Seluruh kehidupannya terpola setelah kehadiran kerahiman yang menjadi manusia. Bunda dari Dia yang Tersalib dan Bangkit telah memasuki tempat kudus kerahiman ilahi karena ia ikut serta secara intim dalam misteri kasih-Nya.
Dipilih untuk menjadi Bunda dari Putra Allah, Maria, sejak awal, dipersiapkan oleh kasih Allah untuk menjadi Tabut Perjanjian antara Allah dan manusia. Ia menyimpan kerahiman ilahi dalam hatinya dalam keselarasan yang sempurna dengan Putranya Yesus. Kidung pujiannya, yang dinyanyikan di ambang rumah Elisabet, didedikasikan bagi kerahiman Allah yang membentang dari “generasi ke generasi” (Luk 1:50). Kita juga termasukkan dalam kata-kata nubuatan Perawan Maria. Ini akan menjadi sebuah sumber penghiburan dan kekuatan bagi kita karena kita melintasi ambang Tahun Suci untuk mengalami buah-buah kerahiman ilahi.
Di kaki salib, Maria, bersama-sama dengan Yohanes, sang murid terkasih, menyaksikan kata-kata pengampunan yang diucapkan oleh Yesus. Ungkapan tertinggi kerahiman ini terhadap orang-orang yang menyalibkan Dia menunjukkan kepada kita titik yang kepadanya dapat dicapai kerahiman Allah. Maria membuktikan bahwa kerahiman Putra Allah tidak mengenal batas dan meluas kepada semua orang, tanpa kecuali. Marilah kita menujukan kepadanya dalam kata-kata Salve Regina,sebuah doa yang sungguh kuno dan baru, sehingga ia tidak pernah lelah memutar matanya yang penuh kerahiman kepada kita, dan membuat kita layak untuk merenungkan sang wajah kerahiman, Putranya Yesus.
Doa kita juga meluas kepada para santo/santa dan para beato/beata yang menjadikan kerahiman ilahi perutusan mereka dalam kehidupan. Saya terutama memikirkan rasul besar kerahiman, Santa Faustina Kowalska. Semoga ia, yang dipanggil memasuki kedalaman kerahiman ilahi, mengantarai bagi kita dan mendapatkan bagi kita rahmat selalu hidup dan berjalan sesuai dengan kerahiman Allah dan dengan kepercayaan yang tak tergoyahkan dalam kasih-Nya.
#25. Saya menghadirkan, oleh karena itu, Tahun Yubileum Agung ini yang didedikasikan untuk menghidupi dalam kehidupan sehari-hari kita kerahiman yang terus menerus diluaskan Bapa kepada kita semua. Dalam Tahun Yubileum ini, marilah kita memungkinkan Allah untuk mengejutkan kita. Ia tidak pernah lelah melempar membuka pintu hati-Nya dan mengulangi bahwa Ia mengasihi kita dan ingin berbagi kasih-Nya dengan kita. Gereja merasa memerlukan kebutuhan mendesak untuk memberitakan kerahiman Allah. Hidupnya otentik dan dapat dipercaya hanya ketika ia menjadi pewarta kerahiman yang meyakinkan. Ia tahu bahwa tugas utamanya, terutama pada saat penuh harapan-harapan besar dan tanda-tanda pertentangan, adalah memperkenalkan kepada semua orang misteri agung kerahiman Allah dengan merenungkan wajah Kristus. Gereja dipanggil terutama untuk menjadi saksi kerahiman yang dapat dipercaya, mengakukannya dan menghidupinya sebagai inti pewahyuan Yesus Kristus. Dari hati Tritunggal, dari kedalaman misteri Allah, sungai besar kerahiman menyembul dan meluap tanpa henti. Ia adalah sebuah mata air yang tidak akan pernah kering, tidak peduli berapa banyak orang yang mendekatinya. Setiap kali seseorang membutuhkan, ia bisa mendekatinya, karena kerahiman Allah tidak pernah berakhir. Kedalaman misteri yang mengelilinginya adalah sama tak habis-habisnya dengan kekayaan yang memancar daripadanya.
Dalam Tahun Yubileum ini, semoga Gereja menggemakan sabda Allah yang berkumandang kuat dan jelas sebagai sebuah pesan dan sebuah tanda pengampunan, kekuatan, bantuan, dan kasih. Semoga ia tidak pernah lelah memperluas kerahiman, serta senantiasa sabar dalam menawarkan kasih sayang dan kenyamanan. Semoga Gereja menjadi suara setiap pria dan wanita, dan mengulanginya dengan percaya diri tanpa akhir: “Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala” (Mzm 25:6).
Diberikan di Roma, di Santo Petrus, pada tanggal 11 April, Vigili Hari Minggu Paskah II, atau Hari Minggu Kerahiman Ilahi, dalam tahun Tuhan kita 2015, tahun ketiga Pontifikat saya.
FRANSISKUS
————————————-
[1]bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Pewahyuan Ilahi Dei Verbum, 4.
[2]Amanat Pembukaan Konsili Ekumenis Vatikan II Gaudet Mater Ecclesia, 11 Oktober 1962, 2-3.
[3]Pidato pada Sesi Umum Akhir Konsili Ekumenis Vatikan II, 7 Desember 1965.
[4]Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 16: Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern Gaudium et Spes, 15.
[5]Santo Thomas Aquino, Summa Theologiae, II-II, q. 30, a. 4.
[6]Hari Minggu Biasa XXVI. Koleksi ini telah muncul pada abad ke-8 di antara teks-teks ekologis dari Sakramentariun Gelasian (1198).
[7]bdk. Homili 22 CCL, 122, 149-151.
[8]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 24.
[9]No. 2.
[10]Santo Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Dives in Misericordia, 15.
[11]Idem, 13.
[12]Sabda Terang dan Kasih, 57.
[13]Homili-homili tentang Mazmur,76, 11.
Sumber:
http://www.kas.or.id/index.php/2016/01/15/misericordiae-vultus-wajah-kerahiman/