*Antara Garam, Gurem, dan Geram* merupakan renungan Sembahyangan Malam Jumat Lingkungan Brayat Minulyo Kadirojo yang dilaksanakan pada hari Kamis, 27 Februari 2025. Bacaan hari ini diambilkan dari Injil Markus, 5: 41 – 50 memberi kesan yang menggentarkan. Pertama, Yesus digambarkan sebagai sosok yang berlidah tajam di kesempatan ini. Pada ayat 42: ada nada ancaman yang bukan kaleng-kaleng – “lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke laut.” Itu artinya hukuman mati. Mana ada orang yang akan bisa bertahan hidup di bawah air ketika ditenggelamkan ke dalam laut, dengan leher dibebani dengan batu kilangan. Kedua, ayat-ayat selanjutnya menyatakan rasa geram: “potong tanganmu…, potong kakimu…, dan cungkil matamu… – sekiranya justru menjadi batu sandungan bagimu untuk hidup dalam kebenaran.

Yesus menyatakan kegeramannya atas perilaku manusia. Dia mengingatkan untuk bersikap keras sebagai bentuk pertobatan. Potong tangan dan kaki, serta cungkil mata, tentu tidak bisa ditangkap secara literal. Itu semua adalah istilah figuratif, ungkapan yang bermakna simbolis. Intinya adalah tuntutan agar kita siap untuk bertobat. Sikap geram yang ditunjukkan oleh Yesus adalah peringatan bagi kita agar tidak menjadi “gurem” – makhluk kecil yang jadi sumber masalah. Ketika pertobatan itu terjadi, kita justru akan menjadi “garam” – yang menyimbolkan kebermaknaan.

Kisah-kisah mengolah rasa geram tercermin dalam sesi sharing. Tuan rumah, Ibu Simbolis, sering kesulitan mengelola perasaan ketika harus berhadapan dengan anak-anak yang terlalu banyak main hape. “Saya masih berjuang keras untuk menjadi garam,” katanya, mengakhiri sharingnya. “Merujuk pada bacaan pertama dari Putra Sirakh, kita dituntut untuk bertobat. Tuhan telah sangat bermurah hati. Tinggal apakah kita mampu berubah dan bertobat atau tidak,” Pak Tyas menyimpulkan sharingnya. “Anak saya tidak siap kalau saya masuk ke kamarnya tanpa ketuk pintu. Bahkan, kalau saya kasih penjelasan soal perjuangan orang tua, dengan enteng dia menjawab – lho zamannya sudah berubah. Saat ini tidak bisa disamakan dengan masa lalu,” Bu Yos membagikan secuil “kegeramannya” dalam menjalin relasi dengan anak ragilnya. “Saya punya kakak, sangat keras kepala, kondisinya tidak baik-baik saja, sakit. Saya harus merawatnya, namun bahkan hanya untuk olahraga kecil dan berjemur saja, tidak mau,” Bu Sri Widowati mengeluarkan uneg-unegnya. “Semuanya kembali ke kita. Siapkah kita menjadi garam? Ataukah hanya mau bikin geram orang lain, dan tetap jadi gurem?”. Pakdhe Redjo mengajukan refleksi yang mendarat. Kegeraman terhadap rendahnya literasi di masyarakat telah membuat Mas Aditya melakukan sebuah inisiatif. Jallaludin Rumi, filsuf dan penyair Iran, pernah mengingatkan, “Jika kamu tidak bisa merubah dunia, minimal dirimu telah berusaha mengubah dirimu sendiri.” Mas Aditya bikin sebuah gerakan sederhana dengan nama *Baca Bareng Jogja.* Inisiatif sederhana ini menjadi embrio untuk membuat perbedaan dalam hidup generasi muda. Tanpa keterampilan membaca, potensi sakit sosial, mental, dan spiritual akan menghantui. Langkah kecil ini adalah *sebuah indikator dari upaya menjadi garam bagi diri dan sesama.
Doa Ibadat Kamis, 27 Februari 2025 menjadi momen yang bagus untuk saling menjaga dan menguatkan umat satu sama lain.

Catatan : Tulisan dan foto dikirim oleh Marcus Wisnuhandoko