KOMSOS-GMMK. Pada Kamis, 3 Oktober 2024, umat Lingkungan St. Maria Sidokerto dan St. Elisabet Sambisari berkumpul untuk melaksanakan ibadat Rosario bersama di rumah keluarga Daniel Livia di Jalan Kelurahan Lama Purwomartani. Ibadat ini menjadi ajang silaturahmi dan reuni bagi umat dari kedua lingkungan yang sebelumnya merupakan satu lingkungan. Acara dimulai dengan doa dan dipimpin oleh Gregorius Gede Wiranarada, salah satu prodiakon dari Lingkungan St. Elisabet Sambisari, sementara doa Rosario dipimpin oleh Kristi Hapsari alias Tete.
Dalam pengantarnya, Gregorius Gede mengingatkan umat bahwa bulan Oktober adalah bulan Rosario, yang secara khusus didedikasikan untuk doa Rosario. Ia juga menjelaskan sejarah penting di balik doa Rosario, di mana pasukan Katolik yang menghadapi ancaman dari kerajaan Ottoman memenangkan perang setelah Paus Pius V bersama umat beriman mendaraskan doa Rosario sepanjang hari, tanpa henti, di Basilika St. Maria Maggiore.
Bacaan Injil Lukas 10:1-12 menjadi bagian dari renungan yang dibawakan oleh Gregorius Gede. Ia mengangkat ayat 3-4 yang berbunyi, “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut dan janganlah memberi salam kepada siapapun selama dalam perjalanan.” Ayat ini terasa kontroversial karena bertentangan dengan kebiasaan kita yang selalu menyiapkan segala sesuatunya dengan teliti. Gregorius Gede menggambarkan bagaimana orang tua menyiapkan segala kebutuhan anak-anaknya yang mengikuti kegiatan di sekolah, seperti camping, dengan penuh perhatian. Namun, Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk berangkat tanpa membawa bekal, sebagai tanda bahwa mereka harus sepenuhnya percaya kepada-Nya. Tuhan akan mencukupi segala kebutuhan mereka jika mereka bekerja dengan baik.
Gregorius Gede juga berbagi pengalaman pribadinya saat mengikuti pelatihan yang diadakan oleh kantornya, di mana ia menyadari bahwa kondisi zaman ini penuh ketidakpastian. Banyak peristiwa yang sulit diprediksi, seperti perubahan cuaca yang drastis atau hasil pemilu yang tidak terduga. Di tengah ketidakpastian itu, ia mengajak umat untuk tetap mempercayakan segalanya kepada Tuhan.
Di akhir renungannya, Gregorius Gede membagikan pengalaman diskusinya dengan Mbah Warso, seorang kakek berusia hampir sembilan puluh tahun yang masih mampu melukis. Dalam percakapan mereka, Mbah Warso menyampaikan dua kata dalam bahasa Jawa yang menggugah: “semeleh,” yang berarti pasrah, dan “momot,” yang berarti tidak menaruh dendam serta saling menghargai. Dua kata tersebut menjadi pelajaran penting bagi umat untuk tetap hidup dengan penuh pasrah kepada Tuhan dan dengan hati yang saling menghargai sesama.
Ibadat ditutup dengan doa dan harapan agar umat dapat semakin mempercayakan hidup mereka kepada Tuhan, mengandalkan kekuatan-Nya dalam menghadapi setiap ketidakpastian yang ada, dan tetap menjaga kerukunan dalam perbedaan.