Nama lengkapku Lysisastra. Keluarga dan orang-orang di sekitarku biasa memanggilku Lysis. Aku tinggal di suatu desa bernama Sepforis. Sebetulnya, Sepforis lebih tepat disebut sebagai kota karena daerah ini adalah kawasan utama bagi daerah di sekitarnya. Apalagi, daerah ini juga dibangun di atas suatu bukit yang menjulang sekitar 120 meter di atas dataran di bawahnya. Dengan begitu, dari kota ini, aku dapat melihat keindahan mengagumkan kawasan atau perkampungan yang ada di bawah. Tak mengherankan, jika ada pelancong berdiam sejenak di kotaku, mereka akan mengagumi panorama yang dipandangnya. Mereka seolah berada di negeri atas awan atau bukit bintang. Takjub.
Kawasan di sekitar kotaku cukup padat penduduknya. Aku paham dengan situasi kotaku. Menurut beberapa cerita yang pernah aku dengar, kota Sepforis dibangun oleh bangsa Romawi yang menjadikannya sebagai kota administratif bagi seluruh wilayah sekitarnya. Begitu eloknya pemerintah Romawi, mengonsep kota menjadi laksana panoptikon bagi daerah sekelilingnya.
Di kota inilah, aku, Lysis, bersahabat dengan seorang gadis. Ia sebaya denganku. Namanya, Maria. Maria tinggal bersama keluarga yang cukup berada. Ayahnya bernama Yoakim dan ibunya bernama Hanna. Hmmm….sebagai orang yang dididik dan dibesarkan dalam tradisi Yahudi, aku dapat menilai keluarga mereka termasuk golongan setia dan senantiasa bertekun dalam doa.
Masih jelas dalam ingatanku, beberapa saat sebelum kota Sepforis terbakar, Maria dan keluarganya pindah ke desa kecil bernama Nazareth. Desa ini berjarak kira-kira 6,5 kilometer dari Sepforis. Itulah mengapa, pada akhirnya Maria lebih dikenal sebagai sosok gadis dari Nazareth. Sementara Maria tinggal di Nazareth, aku tetap menetap di Sepforis.
Meskipun tidak lagi berada di kota yang sama, persahabatanku dengan Maria tetap berlangsung baik. Kami mencoba menjaga tali silaturahim. Sesekali aku mengunjungi Maria, atau sebaliknya. Maria yang mengunjungiku.
Suatu ketika, aku merasa rindu untuk bertemu dengan Maria di Nazareth. Kebetulan sekali, orangtuaku ada perlu di desa itu. Aku meminta ijin kepada mereka untuk ikut serta. Aku ingin bertemu sahabatku, Maria. Aku dan keluarga berangkat lebih pagi supaya tidak kemalaman tiba di Nazareth.
***
Menjelang sore, ketika suasana hening dan temaram karena sang surya belum sepenuhnya berbinar, aku menemui Maria. Kulihat ia sedang sibuk dengan tenunannya. Sebelum aku mengucap salam, Maria sudah keburu menghampiri dan memelukku.
“Salam Lysis…Sehatkah? Bagaimana kabar keluargamu?”, katanya kepadaku. Belum sempat aku membalas pertanyaannya, Maria menarik tanganku dan berkata, “Kita ngobrol sambil jalan-jalan saja.”
Aku penasaran dengan sikap Maria. Tidak biasanya ia berlaku demikian. “Sebentar Maria, apa tidak sebaiknya kamu kenakan kerudungmu,” kataku sebelum ia benar-benar menarikku untuk keluar dari rumah. Maria mendengarkan juga peringatanku. Ia bergegas mengambil kerudung yang tersampir di salah satu dinding rumah.
“Lysis, aku sangat ingin menceritakan apa yang terjadi denganku kepadamu.” Maria mengatakan hal itu kepadaku dengan penuh ketulusan. “Sejujurnya, ada apa denganmu, Maria?” jawabku dengan hati penasaran.
Tak terasa, perjalanan kami sampai pada suatu taman yang dihiasi kolam. Gemercik air pada kolam memberikan ketenangan. Ikan-ikan di kolam pun serasa ingin mendengar apa yang dikisahkan Maria. Kami duduk di tepi kolam sambil menikmati tanaman genêt, semak berbunga kuning yang wangi.
“Lysis, sejujurnya kukatakan kepadamu…beberapa hari lalu, ketika aku sedang menenun, Malaikat Gabriel datang kepadaku dan cahaya bersinar menerangi ruang kamarku,” tutur Maria. “Malaikat itu mengatakan kepadaku bahwa aku akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah aku menamainya Yesus,” lanjutnya kepadaku.
Aku membenahi posisi duduk, mendekatkan diriku dengan Maria dan bertanya, “Maria, bagaimana mungkin itu terjadi? Bukankah kamu masih bertunangan dengan Yusuf bin Eli itu?”
“Benar katamu, Lysis. Kami masih bertunangan,” tegas Maria.
“Lalu, apa yang ada dalam benakmu?” tanyaku.
“Sampai dengan saat ini, aku merasa tidak cukup untuk mengetahui pesan Malaikat Gabriel itu,” jawab Maria. “Tetapi, satu hal yang meneguhkanku, Malaikat itu mengatakan juga bahwa anak yang aku kandung dan lahirkan itu kelak akan menjadi besar dan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi.”
Aku merasa janggal atas jawaban Maria. Aku menatap mata Maria. Sorot matanya tidak menunjukkan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ada kekuatan yang tersembul di dalamnya, suatu pengharapan seorang perempuan yang akan melahirkan.
Kami diam terpaku. Langit kian meremang. Burung-burung mulai tak bersuara. Sementara, gemercik air kolam semakin memberikan ketenangan. “Maria, sulit sekali rasanya memahami apa yang aku dengar tentang dirimu.” Meskipun kerongkonganku tersendat dan kata-kataku terbata, toh pernyataan seperti itu terucap juga dari bibirku.
“Lysis, sahabatku, ketika Malaikat Gabriel mengatakan pesan itu kepadaku, aku memang memiliki kebebasan untuk menolak atau menerimanya. Dan entah mengapa, aku merasa bebas untuk menerima semuanya,” jelas Maria. Maria belum pernah mengucapkan kata-kata demikan keras dan tegas. Seolah, ia ingin menunjukkan apa yang diyakininya.
Aku, Lysisastra, tak bisa berkata-kata atas penegasan Maria. Aku hanya bisa menyimpan dalam hati segala pembicaraan di antara kami.
Matahari kian beringsut. Rembang petang pun menjelang. Suasana sekitar taman yang sepi seakan mengantar kami….Maria melanjutkan kebebasannya untuk menerima panggilan menjadi ibu dari seorang Anak Allah Yang Mahatinggi, dan aku, Lysisastra akan kembali ke Sepforis, kota kecil, senyap dan tak lagi menjadi populer dibanding daerah sekitarnya….***