“Ma, mama jangan mati..” jerit Rafael yang begitu sayang dan dekat kepada mamanya. Ia bergerak panik, tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Ia berlari dan melompat mengitari ruang sempit di sebuah rumah sakit. Tangan kecilnya bahkan mencoba membuka mata ibunya yang sudah terpejam dalam tidur panjang.
Fransisca Sudewi meninggal tiga tahun lalu karena sakit tumor di paru-parunya. Pada pukul 9.28 Dewi, demikian keluarga yang mengasihinya memanggil, masih menjawab pesan pendek yang dikirim Alexius Gus Nanang, suaminya, dari RSUP Prof. Dr. Sardjito. Pagi itu Nanang berinisiatif untuk mendaftarkan proses pengobatan istrinya.
Dewi adalah ibu ideal bagi kedua buah hati mereka. Juga seorang istri yang didambakan Nanang. Disamping dikenang pandai, Dewi adalah seorang pendengar yang baik bagi semua celoteh kedua buah hatinya. Ia akan mendengarkan sampai puas anak-anaknya bercerita. Menimpali pada saat yang tepat dan menjawab pada saat dibutuhkan. Tidak heran kedua anaknya sangat dekat kepada sang bunda.
Ia akan mendengarkan sampai puas anak-anaknya bercerita. Menimpali pada saat yang tepat dan menjawab pada saat dibutuhkan.
Seberapa dekat?
“Mereka dapat bercerita apa saja kepada mamanya. Mamanya akan dengan sabar mendengarkan, seberapapun capeknya dia,” kenang Nanang.
Dewi adalah guru mata pelajaran fisika di sebuah sekolah swasta terkenal di bilangan kota Yogyakarta. Dewi menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengah di Gunung Kidul, sementara studi lanjutnya diselesaikan di IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta). Nanang dan Dewi sudah sepakat berbagi peran bila kelak mereka menikah. Dewi akan membangun karirnya sebagai guru, dan Nanang yang menjadi penjaga kedua buah hati mereka sambil berwiraswasta di rumah mereka di daerah Kalasan.
“Mungkin karena Dewi adalah seorang guru, jadi cara dia berempati terbawa sampai dalam keseharian kami,” mata Nanang sedikit menerawang. Bagi kedua anak mereka, Rafael dan Gebi, Dewi adalah seorang mama dan segalanya. Banyak hal diceritakan kepada mama mereka tanpa rasa sungkan. Bahkan mereka menunggu setiap kesempatan bercerita seperti belum pernah ada kesempatan sebelumnya.
Maka tidak mengherankan kedua anaknya bereaksi sedemikan atas kepergian teman mereka bercerita meski dalam cara yang berbeda. Si sulung bergerak panik dan histeris, sementara adiknya diam dalam keterkejutan yang tidak terkatakan.
Kabar meninggalnya Dewi sampai ke Nanang yang waktu itu masih di RSUP Prof. Dr. Sardjito melalui salah seorang kerabatnya. Dalam kebiasaan keseharian masyarakat Jawa, bila ada sebuah peristiwa yang terjadi dan dikabarkan oleh tetangga atau kerabat maka peristiwa itu pastilah sebuah peristiwa sangat tidak biasa. Seringkali adalah berita kematian anggota keluarga.
“Saya kaget sekali. Dan sudah tidak dapat berpikir jernih. Pikiran sudah sangat kacau. Yang pertama terlintas adalah doa-doa yang saya daraskan untuk Dewi. Saya percaya masih ada mujizat,” ingat Nanang tentang penggal waktu yang membawa perubahan pada banyak hal dalam hidupnya.
“Setelah itu saya tidak ingat lagi. Saya membawa kendaraan seperti melayang. Jarak yang cukup jauh dapat saya tempuh dalam waktu hanya 20 menit. Itupun di tengah lalu-lintas kota Yogyakarta yang padat. Semua kendaraan seperti memberikan jalan ketika saya melintas,” jelasnya lebih lanjut.
Nanang tidak menduga bahwa peristiwa itu terjadi begitu cepat. Hanya selang sekitar tiga bulan semenjak secara resmi diagnosa atas penyakitnya diberikan oleh dokter yang merawat.
“Awalnya itu hanya sakit batuk biasa. Sembuh ketika diobati, lalu batuk lagi. Batuknya adalah batuk kering. Itu terjadi selama kira-kira satu tahun lamanya,” Nanang mulai menghitung mundur waktu istrinya yang semakin pendek ketika itu. Berulangkali ke dokter, berulangkali sembuh sebelum kemudian batuk lagi.
Seiring perjalanan waktu, mereka lalu sepakat untuk memeriksakan secara lebih terinci. Dimulai dari rekam paru dan kemudian didapati hasil yang jauh dari menggembirakan. Dokter menanyakan banyak hal terkait pekerjaannya sebagai guru. Dokter menengarai bahwa kegiatan di laboratorium bahan-bahan kimia berkontribusi signifikan pada tumor yang bersarang di paru istrinya.
“Memang salah satu kegiatan di laboratorium adalah melakukan pembakaran bahan kimia dan kemudian memakai indra penciuman untuk menyimpulkan hasil. Kami menduga dari sana semua itu bermula,” Nanang mengingat sebuah bagian diskusi dengan Dewi.
Serangkaian uji medis dan hasil analisa berkelanjutan membawa kepada kesimpulan bahwa Dewi mengidap tumor stadium 4A. Sebuah situasi yang tidak pernah mereka duga. Awalnya dokter mendiskusikan tentang pentingnya perawatan lanjutan. Lalu diperlukan cuti mengajar selama setahun. Untuk keperluan dokumentasi, mereka membuka surat keterangan dari dokter dan mendapati kalimat mengejutkan itu.
“Istri langsung drop setelah mengetahui penyakitnya berada di stadium yang demikian mengkhawatirkan,” kata Nanang.
Disamping kondisi psikologis yang drop dan penyakit yang terus memburuk, Dewi seringkali kesulitan menemukan posisi tidur yang tepat untuk istirahat. Akhirnya Dewi sering tidur seperti anak-anak tertidur di meja belajar mereka, sepanjang malam.
Pada malam menjelang pemakaman Dewi, mereka sekeluarga jatuh tertidur kelelahan di ruang keluarga di mana Dewi disemayamkan. Anak sulungnya bercerita bahwa ia seperti melihat Dewi menurunkan sebelah kakinya dan lalu bergerak dalam posisi duduk. Setelah kemudian Dewi tertidur lagi. Akan halnya dengan anak keduanya, ia seperti melihat Dewi menemaninya menyalami para pelayat. Nanang mencatat itulah cara Dewi berpamitan pada kedua buah hatinya. Anak-anak yang ingin ditemaninya sampai mereka besar nanti. Anak-anak yang hendak didengarkan cerita-ceritanya yang menganaksungai dari mulut-mulut kecil mereka.
“Ini adalah pengalaman kedua saya kehilangan. Dulu Bapak FX. Sunarmo meninggal pada tanggal 26 April 2007 karena sakit diabetes, tetapi lalu memburuk dengan cepat dan meninggal. Lalu kemudian Dewi, teman seperjalanan yang saya impikan. Dari kedua pengalaman itu saya belajar pentingnya sesegera mungkin melakukan perawatan yang tepat untuk penyakit, terutama penyakit dalam,” dengan masgul Nanang menyusun kalimat ini.
Dari kedua pengalaman itu saya belajar pentingnya sesegera mungkin melakukan perawatan yang tepat untuk penyakit, terutama penyakit dalam
Dua minggu lalu mereka bertiga menanda keseribu hari Dewi dipanggil Tuhan. Dalam tradisi Jawa lalu ditempatkan nisan penanda berbahan batu.
Tetapi semua pengalaman itu sudah diterima dengan dada yang dilapangkan sedemikain rupa. Kalau ada yang masih ingin tidak terjadi adalah cara dokter jaga mengabarkan kematian istrinya kepada Ibu dan kedua anaknya secara langsung. Beberapa saat sebelum Nanang sampai di tempat duka. Meski Nanang memang tidak pernah tahu apa yang kemudian terpatri dalam pengalaman psikologis kedua anak-anak manis itu setelah mendengar pemberitahuan tersebut.
Nanang dan Dewi menikah di Gereja Maria Marganingsih pada tanggal 27 Juni 2004 dan diberkati oleh Romo Saptoko, Pr. Mereka berpacaran selama lima tahun, di mana tiga tahun diantaranya dijalani secara sembunyi-sembunyi. Anak-anak muda menyebutnya sebagai backstreet. *
Seperti diceritakan kepada Adrian Diarto pada tanggal 15 Maret 2020.