Di lingkungan Gereja Katholik, sarasehan dilaksanakan secara resmi setidaknya dua kali dalam setahun. Yaitu sarasehan menjelang Natal pada masa advent dan sarasehan menjelang Paksah pada masa prapaskah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sa·ra·seh·an /saraséhan/ adalah pertemuan yang diselenggarakan untuk mendengarkan pendapat (prasaran) para ahli mengenai suatu masalah dalam bidang tertentu.
Bila definisi tersebut boleh dibuat lebih fleksibel maka kata “ahli” dalam pengertian bahasan ini telah dituangkan dalam buku panduan dan dipanjang-tangankan melalui para pemandu.
Sehingga menjadi cukup menguntungkan bila sudah disediakan buku materi sarasehan sebagai panduan yang memang disiapkan oleh mereka yang sudah mumpuni untuk itu.
Seperti diketahui, menyiapkan buku panduan tentu bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Pertama adalah heteregonitas peserta sarasehan dari banyak sisi, misalnya: pengalaman, usia, pendidikan dan lainnya. Kedua adalah banyak aspek yang harus dipertimbangkan dari sisi subsansi materi, misalnya: relevansi dengan ekpektasi umat dan aktualitas untuk pengejawantahannya.
Bagian kritis lainnya adalah pada saat pelaksanaan sarasehan. Untuk membuat suasana sarasehan menjadi hidup dan dinamis adalah sebuah tantangan tersendiri. Tidak hanya dari sisi pembawa materi sarasehan tetapi juga partisipasi aktif umat yang hadir. Sebelum masuk pada partisipasi umat yang hadir, yang terjadi di beberapa lingkungan adalah jumlah kehadiran. Yang hadir “itu-itu saja”. Sudah menjadi pengetahuan umum juga bahwa bila yang dilaksanakan adalah doa rosario maka yang hadir cukup signifikan jumlahnya.
Beberapa berpendapat karena dirasa cukup berat atau tidak mudah untuk memahami materi sarasehan sehingga memilih untuk tidak hadir. Pada titik ini, bila kembali pada bahasan awal, memang tidak mudah menyiapkan dan membawakan materi dalam heterogenitas peserta.
Yang pertama perlu disadari bersama adalah bahwa sarasehan adalah merupakan tugas bersama seluruh elemen Gereja. Tidak hanya merupakan tugas pastor, pengurus dewan, ketua lingkungan dan seksi liturgi. Tetapi juga tanggung-jawab seluruh umat Gereja tanpa kecuali. Semua ditunggu-harapkan untuk berpartisipasi aktif.
Peserta sarasehan diharapkan ikut berdinamika secara gembira. Pembawa sarasehan juga perlu untuk memikir-lakukan banyak terobosan supaya tidak berlangsung sekedarnya (baca: kaku, monoton dan hanya membaca buku panduan).
Sisi strategis sarasehan adalah untuk terus menjaga-kembangkan iklim belajar bersama.
Belajar bersama sendiri setidaknya ada dua hal penting. Pertama adalah supaya senantiasa terbuka pada situasi konkret di masyarakat, dan kedua adalah supaya tetap terbangun anggota Gereja yang mau terus belajar sehingga memiliki iman yang semakin “peng-pengan” (baca: relevan, tangguh dan misioner). Beriman secara aktual terhadap situasi riil di masyarakat dan kontekstual sesuai ajaran-ajaran Gereja.
Menilik sisi strategis sarasehan, maka menjadi penting untuk menciptakan suasana sarasehan yang “sersan”. Yang serius tetapi juga santai. Serius belajar bersama, tetapi santai sambil saling-menyapa dan memberi ruang kepada peserta lain untuk juga dapat berpartisipasi. Mencela atau memotong pendapat tidak disarankan atau harus dihindari.
“Ice-breaking” adalah hal yang sangat disarankan untuk mencairkan suasana dan memecah kebuntuan dengan humor atau cerita-cerita pendek yang kontekstual.
Selamat sarasehan. Selamat belajar bersama.
Catatan: Kiriman dari Mas Adrian Diarto